Kopi merupakan pemersatu Kamtibmas karena di setiap kegiatan positif di masyarakat hampir bisa dipastikan tersaji kopi sebagai hidangan
Jakarta (ANTARA) - "Kopi merupakan pemersatu Kamtibmas, karena di setiap kegiatan positif di masyarakat hampir bisa dipastikan tersaji kopi sebagai hidangan, " kata anggota Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabikamtibmas) Kampung Mulyasari, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Brigadir Buana Adi Putra.

Begitulah filosofi kopi di mata pria berusia 30 tahun ini, ketika bertugas di desa terpencil dan terpelosok di Kabupaten Bogor, salah satu wilayah penyangga Ibu Kota Jakarta. Ia pertama kali menginjakkan kaki di kampung itu Juli 2017, menerobos kawasan hutan dengan menggunakan sepeda motor trail. 

Buana, sapaan akrab ayah dua orang anak itu melihat potensi besar dari perkebunan kopi warga setempat dapat menggerakkan roda perekonomian. 

Bahkan Buana bermimpi untuk menjadikan ini sebagai desa teladan di Jawa Barat seperti Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah yang tadinya miskin menjadi desa makmur. 

"Caranya antara lain dengan mengembangkannya menjadi kampung wisata dengan kopi eco village," kata Buana lugas beberapa waktu lalu dalam bincang santai kepada Antara.

Mimpi ini agaknya sulit diwujudkan karena kampung ini memiliki segudang persoalan, seperti ketiadaan sarana prasarana pendidikan, akses jalan, aliran listrik, tidak memiliki dokumen kependudukan, akte kelahiran, buku nikah, hingga susah sinyal. 

Baca juga: Gajah sumatera pun hadir dalam upacara Hari Pahlawan di Aceh Jaya

Namun, Buana menerima tugas ini sebagai takdir Tuhan sehingga dijalaninya dengan ikhlas, termasuk membantu mengajar anak-anak kampung itu hingga menjembatani sejumlah donatur dan relawan masuk membantu wilayah tersebut.

Setiap tiga kali dalam sepekan, Buana mengajar bidang studi Bahasa Inggris dengan mengandalkan fasilitas madrasah dengan sarana dan prasarana seadanya yang dikelola oleh salah seorang ustadz di kampung itu.

Meski cuma bahasa dasar seperti nama buah-buahan, benda dan peralatan, metode ini dilakukannya agar anak-anak di desa tersebut memiliki motivasi dalam belajar dan keluar dari keterbelakangan. 

"Saya ingin membangun rasa kepercayaan diri anak-anak agar luwes dalam bergaul, karena tidak menutup kemungkinan kampung yang terpencil ini nantinya akan banyak dikunjungi oleh orang dari mancanegara," kata Polisi lulusan Diktuba Polri 2007 ini. 

Kampung ini berjarak 25 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Bogor di Cibinong, hanya memiliki akses jalan hanya bisa dilalui pejalan kaki dan kendaraan roda dua. 
 
Brigadir Buana Adi Putra mendampingi warga dalam kegiatan sosial di Kampung Mulyasari, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (ANTARA/HO-Brigadir Buana Adi Putra)


Terpencil dan tertinggal 
Kampung ini berdiri pada 2011 dan terbentuk dari masyarakat Kampung Gunung Sanggar yang eksodus karena kampungnya hilang diterjang longsor dengan jumlah penduduk sekitar 60 kepala keluarga (KK) atau sekitar 285 jiwa, bermukim dalam satu rukun tetangga. 

Suami dari Dini Maryani (25) ini berupaya kehadirannya dapat membantu menyelesaikan persoalan sosial yang dihadapi warga Kampung Mulyasari yang minim oleh sentuhan program pemerintah.
 
Hampir dua tahun berjalan, kondisi warga di Kampung Mulyasari mulai terkikis dari kata terisolir, kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas jauh Mulyasari sudah lebih baik dari sebelum Buana masuk ke kampung tersebut.

Adanya tenaga pengajar tetap dan tersalurkannya dana Program Indonesia Pintar (PIP) kepada anak-anak kelas jauh Mulyasari, walau belum semua anak-anak di kampung ini memiliki Nomor Induk siswa nasional (NISN) karena baru siswa kelas satu dan dua saja yang terdaftar dan memiliki NISN. 

"Tapi dari sektor infrastruktur, belum ada bangunan sekolah formal di Kampung Mulyasari, bangunan yang biasa digunakan untuk KBM formal (non pesantren) hanya sebuah bangunan yang dulunya dijadikan madrasah. Itu pun bangunannya kecil. Jadi, anak-anak kalau belajar masih lesehan di kelas tanpa bangku dan meja," kata Buana. 

Hidup sederhana tanpa listrik pernah dilalui warga, mengandalkan penerangan dari turbin kecil dan kincir angin yang dibuat seadanya. Kegiatan sosial yang dilakukan Buana dan diunggahnya ke media sosial serta saluran Youtube membuka mata publik tentang keberadaan Mulyasari nan terpencil.

Buana mengatakan dengan hadirnya listrik di Kampung Mulyasari, rasa kepercayaan masyarakat setempat terhadap pemerintah desa dan daerah semakin meningkat karena sebelumnya sudah hampir dalam kurun waktu delapan tahun warga di kampung hidup gelap gulita. 

Baca juga: FPKB paresiasi lagu "Yaa Lal Wahton" dikumandangkan saat Hari Pahlawan

Polisi muda ini juga menemukan dugaan penyalahgunaan program pemerintah bantuan desa tertinggal (BDT) disinyalir menjadi salah satu faktor yang menghambat pembangunan di kampung itu. 

Selain listrik, saat ini juga sudah mulai berjalan program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) dari Program Keluarga Harapan (PKH) yang tersalurkan hingga ke kampung itu. 

Uniknya, meski sudah berlistrik, warga yang identik sebagai penduduk mayoritas Muslim tetap menganut prinsip filosofi setempat yaitu Pancaniti atau lima tahapan menuju kesempurnaan. 

Salah satunya, mewajibkan kepada warga dan para tamu untuk menghentikan aktivitas serta ikut shalat berjamaah di masjid, budaya mengaji dan menghafal Alquran bagi para santri seusai shalat Dzuhur, Ashar dan Magrib.  




Brigadir Buana Adi Putra bersama warga dan sepeda motor trail yang digunakannya untuk bertugas di Kampung Mulyasari, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (ANTARA/HO-Brigadir Buana Adi Putra)


Pembina petani 
Mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani kopi dan bekerja serabutan. Mereka juga menanam padi, kapulaga, pisang dan cengkeh.  Kehidupan warga bersandar pada hasil perkebunan dengan pendapatan rata-rata sekitar Rp75 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan. 

Buana melihat ada potensi besar dibalik keterbatasan yakni perkebunan kopi yang sudah puluhan tahun dijalani tapi produksi stagnan karena minim fasilitas dan akses seperti pengetahuan tentang menanam dan memanen kopi.

Karenanya, secara otodidak, Buana mengembangkan kopi luwak Pancaniti dengan Kelompok Tani (Poktan) Hutan Inagroita bentukannya. Kelompok tani beranggotakan 53 orang, menanam kopi di lahan seluas kurang lebih 25 hektare. 

Mereka selama puluhan tahun terbiasa bertani kopi secara konvensional tanpa pengembangan pengetahuan dan sejak kelompok tani dibentuk baru mau dan mulai belajar petik merah atau sortir merah selektif. 

Buana juga melatih diri, memasarkan kopi produksi petani ke beberapa gerai kopi di Kota Bogor, tujuannya satu, mendorong perekonomian masyarakat kampung binaannya. 

Produk kopinya di antaranya Kopi Luwak Pancaniti, kopi berasal dari kotoran luwak liar yang dikumpulkan secara swadaya oleh masyarakat. Kopi tersebut sudah dinilai seorang pakar kopi dan terpajang di salah satu rumah kopi di Bogor dengan predikat Grade A Internasional.

Mereka menanam dua jenis kopi yakni Arabika memiliki karakter kopi sedikit asam, beraroma buah segar, kafein sedikit lebih wangi dan Robusta dengan karakter kopi cenderung pahit, beraroma kacang-kacangan, cokelat karamel, tinggi kafein dengan aroma lebih lembut.

Baca juga: Fine robusta tingkatkan kesejahteraan petani kopi
 
Ia mengatakan jenis kopi yang diproduksi kelompok taninya, Arabika tiga persen karena belum ada peremajaan dan pembibitan baru dan Robusta 97 persen. Kedua jenis kopi cocok ditanam untuk konservasi. Kategori untuk robusta yang baik bernama fine robusta, kategori arabika yang baik bernama specialilty Arabica. 

"Alhamdulillah kopinya ternyata uenakkk.., diuji sama Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia) Jember nilai uji cita rasa masuk kategori fine robusta nilai di atas 80," kata Buana.
 
Beberapa gerai kopi di Kota Bogor sudah bermitra dengan kelompok tani binaan Buana, mulai rutin dikirim 50 kg biji kopi merah setiap bulannya. 

Produksi kopi petani cuma bisa satu kwintal per bulan, sedangkan kopi luwak produksi greenbeen 12 kg per bulan. Pernah di acara Asian Games 2018, kopi luwak produksi petani Mulyasari dibeli oleh salah satu atlet Paralayang dari China seharga 87 dolar AS dan mereka membeli lima bungkus sehingga total harganya Rp1,2 juta. 

Buana semakin percaya diri ketika atlet internasional tersebut menyukai kopi luwak produksi kelompok tani binaannya dan terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas serta produktivitas petani. 

Ia juga tidak lupa untuk menyisihkan hasil penjualan kopi setiap satu pak Rp5.000 untuk kas kelompok, karena kelompok yang dibinanya belum ada pengelola keuangan untuk kas kelompok, nantinya bisa digunakan oleh anggota kelompok untuk keperluan sosial. 

Buana mengatakan pembinaan yang dilakukannya mulai dari pembentukan kelompok tani, edukasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan kelompok tani, hak dan kewajiban masyarakat yang tinggal di areal kawasan hutan, edukasi petik kopi merah dan pengelolaan kopi supaya lebih bagus hasilnya.  
 
Brigadir Buana Adi Putra menerima penghargaan dari Kapolres Bogor AKBP A.M Dicky atas jasanya bertugas di Kampung Mulyasari, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (ANTARA/HO-Brigadir Buana Adi Putra)


Persoalan petani  
Kampung ini hanya memiliki satu kelompok tani yakni Poktan Inagroita dibina langsung oleh Buana. Beberapa kendala masih dihadapi para petani yakni tidak ada koperasi yang menaungi kelompok tani baik di tingkat maupun kecamatan dan desa, kurangnya tenaga penyuluh pertanian lapangan.

Juga, kurangnya pembinaan dari Babinsa/Bhabimkamtibmas sehingga tidak ada pengetahuan tentang upaya kesadaran hukum dari masing-masing poktan terkait pengelolaan areal kawasan perkebunan ataupun pertanian. 

Karenanya, Buana dan Dinas Pertanian Hortikultura dan Perkebunan (Distanhorbun) Bogor, rutin memberikan edukasi pelatihan mengenai cara berkebun kopi hingga mengelola kopi dengan baik. 

"Misi saya menjadikan kopi yang dihasilkan dari kampung ini memiliki kualitas cita rasa nilai jual yang meningkat dan mudah diterima oleh restoran, kafe dan hotel," kata Buana.

Baca juga: Petani di Malang dilatih produksi kerupuk kopi hingga masker kopi

Pengabdian Buana ini membuatnya diganjar sejumlah penghargaan di 2018 di antaranya juara pertama Bhabinkamtibmas terbaik versi Korem 061/Suryakancana, Bhabinkamtibmas teladan tingkat Kabupaten Bogor, juara pertama lomba Bhabinkamtibmas tingkat Polda Jawa Barat, Bhabinkamtibmas terbaik tingkat Polres Bogor, personel Polri yang memiliki predikat dan dedikasi tinggi dalam rangka Pilpres. 

Kemudian, penghargaan di tahun ini adalah nominasi Polisi Teladan tingkat Mabes Polri, serta Binmas Pioneer Polri. 

Agaknya, jika hidup adalah pilihan, Buana memilih tetap menjadi Polisi, baginya Polisi adalah harga mati. Karena semua pencapaian yang diraihnya adalah karena dirinya seorang polisi. 

Tanpa disadari, kehadirannya bisa dikatakan sebagai polisi pahlawan di era kekinian karena perannya, juga sebagai pengajar dan pembina kelompok tani. Semuanya punya kedekatan dengan masyarakat. Sama-sama saling berkaitan dengan tujuan sama yakni turut membangun masyarakat Negara Republik Indonesia dengan perspektif yang luas. 

"Ketika menjadi polisi, sama seperti polisi yang lainnya, di mana kita berada harus dapat berbuat menjadi bermanfaat bagi masyarakat. Tinggal bagaimana caranya kita bisa bermanfaat bagi masyarakat itu," kata Buana. 



 

Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019