belum dimasukkannya perspektif gender akan menyulitkan langkah-langkah melawan teror ke depan
Jakarta (ANTARA) - Penanganan terorisme di Indonesia memerlukan perspektif gender sebagai bentuk antisipasi tren perempuan menjadi ujung tombak kelompok ekstremis melakukan teror, menurut Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Ruby Kholifah.

"Kementerian-kementerian itu punya intervensi penguatan perempuan untuk mencegah terorisme, tapi perannya jadi dikecilkan. Tapi secara mainstreaming sebagai mandat Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang gender mainstreaming (pengarusutamaan gender) itu belum dapat, dan masih belum dianggap penting karena belum menjadi pilar strategi sendiri di Indonesia," ujar Ruby dalam diskusi soal perempuan dan radikalisme di Cikini, Jakarta Pusat pada Senin.

Ruby mengacu kepada Inpres Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang menimbang pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah.

Baca juga: Direktur AMAN: Perekrutan TKI oleh teroris karena gegar budaya

Baca juga: Perempuan independen kecil kemungkinan direkrut teroris


Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sudah melihat bagaimana perempuan kini menjadi pelaku teror seperti yang terjadi dalam Bom Surabaya pada 2018. Selain itu, penangkapan perempuan yang terlibat jaringan teror juga sudah terjadi beberapa kali.

Tapi sampai saat ini perspektif gender masih belum dilakukan untuk antisipasi tren perempuan sebagai pelaku teror, ujar perempuan yang pernah masuk daftar 100 perempuan dunia berprestasi versi media Inggris BBC pada 2014 itu.

Padahal, ujar Ruby, Indonesia sendiri merupakan negara yang memimpin dalam konteks kontra-terorisme dan mencegah terorisme dan melawan ekstremisme. Tapi belum dimasukkannya perspektif gender akan menyulitkan langkah-langkah melawan teror ke depan.

"Kalau tidak mengintegrasikan perspektif gender maka kita tidak akan bisa melihat bahwa narasi perempuan yang dipakai untuk melakukan rekrutmen adalah yang dekat dengan kehidupan perempuan. Tanpa kacamata gender maka kita akan melihat narasi rekrutmen secara general," tegas dia.

Pendekatan perekrutan yang dilakukan kelompok teroris terhadap perempuan berbeda dengan laki-laki. Narasi terkait perkawinan, poligami, kawin muda, kesolehan, dan cadar bisa digunakan untuk perempuan.

Strategi perekrutan juga berbeda dengan kebanyakan perempuan direkrut melalui pernikahan dan keluarga. Proses radikalisasi yang melibatkan satu keluarga, seperti yang terjadi di Surabaya pada 2018, kebanyakan dilakukan lewat peran ibu yang berhubungan langsung dengan anak.

Semua itu, ujar Ruby, dapat digali lebih dalam dengan menggunakan perspektif gender.

Baca juga: Terduga teroris Sibolga rekrut sejumlah perempuan untuk dijadikan istri

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019