Harus ada prosedur agar perusahaan migas mau menyediakan data. Semakin banyak data untuk publik hal itu akan semakin bermanfaat bagi pemerintah.
Jakarta (ANTARA) - Bisnis minyak dan gas bumi merupakan usaha klasik mengenai eksploitasi sumber daya alam yang berasal dari fosil.

Menurut banyak pakar, industri padat karya tersebut telah menilai sudah melewati masa puncaknya, di mana usaha tersebut memiliki umur seusai dengan cadangan migas yang tersedia.

Tentu saja, semakin lama tren negatif menunjukkan angka penurunan mayoritas yang hampir melanda setiap lini rantai bisnis migas, dari industri hulu sampai ke hilir.

Kelangkaan akan migas langsung terasa dampaknya bagi masyarakat dalam kisah distopia seperti tergambar dalam film "Mad Max" (1979), namun fosil tetaplah fosil, dan akan tiba masa kelangkaan ketersediaannya.

Menelaah prediksi tersebut, metamorfosis bisnis migas mulai memasuki fase-fase baru, di mana profit atau laba juga bisa datang dari bentuk lain dalam rantai distribusinya.

Memanfaatkan digitalisasi, tren tersebut mulai diadaptasi oleh perusahaan migas "Plat Merah". PT Pertamina bahkan mengincar digitalisasi sebagai platform lain untuk bisa dieksploitasi menjadi laba korporat.

Untuk meningkatkan layanan eksternal dan internal, Pertamina bereksplorasi dalam transformasi digital pada tahun ini ke sejumlah proses bisnis yang lebih luas, dengan potensi mencapai Rp5 triliun.
Baca juga: Siemens: digitalisasi faktor kunci transformasi industri Indonesia

Setidaknya ada enam program utama digitalisasi yang diusung perusahaan yang berpotensi mendatangkan nilai hingga Rp3 triliun sampai Rp5 triliun per tahun.

Keenam program itu adalah Loyalty Program, Digital Refinery, Knowlegde Management and Best Practice in Upstream, Digital Procurement, Digitalisasi Korporat, serta Digitalisasi SPBU dan Terminal BBM.

Di sektor hulu, Pertamina telah melakukan transformasi digital dengan membangun upstream cloud dan big data analytic, sebagai bagian dari optimatisasi penggunaan aplikasi petrotechnical yang tersentralisasi dan terintegrasi.

Sementara di pengolahan, Pertamina tengah menyiapkan predictive maintenance yang terintegrasi melalui adopsi advanced analytics, sehingga meminimalisir terjadinya unplanned shutdown.

Di hilir, Pertamina terus melanjutkan program utamanya yakni digitalisasi SPBU dan Terminal BBM, sehingga bisa memonitor ketahanan stok dan distribusi BBM secara nasional. Selain itu, dalam proses pengadaan barang dan jasa, Pertamina juga menerapkan pengadaan digital yang diprediksi memberikan kontribusi efisiensi terbesar sekitar Rp1,5 triliun sampai Rp2 triliun per tahun.

Dilihat dari digitalisasi SPBU saja, apabila setiap data pembeli BBM terekam di setiap stasiun pengisian Nusantara, maka akan ada potensi "Big Data" yang dapat dimanfaatkan.

Jumlah titik keramaian serta kuantitas jenis kendaraan yang melewati daerah tertentu misalnya, dengan begitu data mentah dari kuantitas transportasi bisa mewakili potensi keramaian bisnis suatu daerah.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan program ini merupakan upaya Pertamina untuk menjawab tantangan bisnis di masa mendatang dan ini adalah cara Pertamina untuk ikut beradaptasi.

Namun untuk pelaksanaannya, Pertamina sadar bahwa harus bekerjasama dengan mitra yang sudah berpengalaman. "Karena itu, kami akan masuk ke dalam ekosistem tersebut," ujarnya.
Baca juga: Gubernur BI ingatkan tren globalisasi menyusut, digitalisasi melesat

Menyatu dengan teknologi menjadi salah satu cara untuk menyelami arus investasi bisnis terus mengalir. Sedangkan di sektor hilir menjadi upaya nyata yang dampaknya langsung dirasakan oleh konsumen.

Sekitar 650 SPBU di Indonesia sudah bisa bertransaksi dengan aplikasi (MyPertamina). Selain bisa menjadi data perekam dari pelanggan, korporat dapat melihat kebiasaan pelanggan untuk dijadikan peningkatan pelayanan atau bahkan potensi bisnis lain.

Aplikasi tersebut juga menawarkan aksi jemput bola di mana petugas akan mendatangi konsumen apabila kendaraan yang dimiliki tidak sempat berhenti di SPBU terdekat.


Hulu
Robert Shoup selaku VP Regions AAPG (asosiasi geologis migas Amerika) sempat mengingatkan, Indonesia harus menyempurnakan standar prosedur serta standar format pelaporan data migas. “Harus ada prosedur agar perusahaan migas mau menyediakan data. Semakin banyak data untuk publik hal itu akan semakin bermanfaat bagi pemerintah,” ujarnya.

Apabila kolaborasi data dan kepastian kebijakan mampu bersinergi dalam satu jalan, maka peningkatan produksi migas atau bahkan penemuan cadangan baru dalam meniti eksplorasi migas Indonesia akan memiliki kemungkinan lebih besar menuju penemuan cadangan baru. Selain peran manajemen data, efisiensi berbagai sektor akan menjadi titik kunci peningkatan produksi migas nasional.

Pergeseran migas konvensional memiliki kekurangan dalam konsistensi bisnisnya, yaitu ketersediaan materi, sebab energi fosil masih menjadi tulang punggung utama investasi ini, sedangkan alam menyediakannya secara terbatas.

Untuk memaksimalkan keterbatasan pada ketersediaan alam, prediksi dan akurasi adalah hal penting dalam memulai pengembangan investasi migas.

Dengan kata lain, siapa yang dapat memprediksi paling akurat mengenai potensi eksplorasi cadangan migas, maka ia akan menjadi pemain besar di migas.

Oleh karena itu, penguasaan data adalah hal mutlak untuk merajai kepastian usaha energi fosil. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri, sebagai regulator dalam perannya, telah menyatakan siap memperkuat kolaborasi dengan investor minyak dan gas bumi (migas) pada era keterbukaan data.

Pemerintah sudah saatnya mulai merangkul dan membuka ruang dialog bagi investor guna mengakomodir kendala-kendala di lapangan yang penuh ketidakpastian dalam eksplorasi migas Indonesia.

“Pada dasarnya, prioritas kami adalah bagaimana bisa membantu investor untuk mengeksplorasi sumber daya migas di Indonesia,” kata Agus Cahyono Adi, selaku Head of Data dan Information Technology Center Kementerian ESDM.
Baca juga: Pertamina Hulu Mahakam akan bor 257 sumur baru pada 2020-2022

Saat ini, Pemerintah diketahui telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 7 Tahun 2019 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Data Minyak dan Gas Bumi.

Namun, masih terdapat sejumlah tantangan dalam implementasinya, di antaranya besarnya volume data yang harus dikelola, kelengkapan dan keakuratan metadata, hingga kepatuhan pengiriman data baik secara digital maupun fisik. Secara eksplisit keterbukaan data tersebut sudah dapat diakses dengan ketentuan syarat yang diatur dan tanpa adanya pemungutan biaya akses data. Tentu saja menarik bagi iklim investasi.

Dalam kesempatan lain, Alex Dolya selaku Partner dan "Managing Director of BCG" menyebutkan ada tiga negara yang bisa menjadi contoh untuk implementasi keterbukaan data migas. Mereka adalah Norwegia, Inggris, dan Australia. Pada 1995, Norwegia mulai menciptakan gudang data nasional. Pihak luar yang hendak mengakses dikenakan biaya tertentu yang relatif rendah.

Upaya menjadikan Indonesia seperti ketiga negara tersebut jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. "Lompatan era keterbukaan data bagi Indonesia tidaklah seperti membalik telapak tangan. Tidak seketika sempurna seperti di Norwegia atau Inggris. Kita harus kolaborasi," katanya.
Baca juga: KPPU berkoordinasi dengan Pertamina terkait kelangkaan BBM bersubsidi
 

Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019