Badung, Bali (ANTARA) - Aturan baru tentang penyelenggaraan sistem elektronik dan penyimpanan data melalui Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2019 diharapkan mampu membuka peluang bagi bisnis manajemen data.

"Saya rasa aturan baru itu akan berarti bagi kami karena kami memiliki posisi yang lebih baik untuk membantu memberi wawasan kepada pemerintah tentang klasifikasi data," kata Country Manager Veritas Indonesia dan Filipina Suresh Nair saat ditemui di Veritas Vision Executive Forum 2019 di kawasan Nusa Dua Badung, Bali, Rabu (13/11).

Setiap penyelenggara sistem elektronik, melalui peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik itu, diminta untuk mengklasifikasikan data berdasarkan tingkat risiko yang ditimbulkan, yaitu data strategis, data tinggi, dan data rendah.

Veritas, penyedia layanan penyimpanan berbasis perangkat lunak dan perlindungan data, menilai PP 71/2019 itu membuka peluang bagi mereka untuk meyakinkan arti penting klasifikasi data sebagaimana mereka lakukan selama ini.

Baca juga: BSSN imbau masyarakat lebih teliti lihat PP 71 tahun 2019

Klasifikasi data, menurut Nair, juga berfungsi untuk merumuskan keamanan yang diperlukan.

Aturan perundangan-undangan yang merupakan revisi atas Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2012 itu juga menyebutkan data-data tertentu diizinkan untuk disimpan di luar Indonesia.

Tapi, penyelenggara sistem dan transaksi elektronik wajib memberikan akses jika sewaktu-waktu diperlukan, misalnya untuk kepentingan penegakan hukum.

Suresh Nair mengatakan hampir setiap negara memiliki aturan mengenai data-data yang harus berada di dalam negeri maupun yang bisa berada di luar negeri.

Baca juga: Pakar: PP No. 71 Tahun 2019 beri kejelasan bagi pelaku usaha

"Jika pun data berada di luar negeri, kami tetap terlibat dengan penyedia layanan yang ada di dalam negeri," kata Nair.

Pemerintah, pada Oktober 2019, telah mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2019.

Sementara, asosiasi perusahaan penyelenggara jasa digital meminta pemerintah meninjau ulang revisi tersebut karena dinilai mengganggu kedaulatan negara dan merugikan secara ekonomi.

Sejumlah asosiasi menilai 90 persen data akan berada di luar wilayah Indonesia dan penyelenggara sisitem dan transaksi elektronik asing tidak lagi wajib berinvestasi untuk mengadakan penyimpanan data di Indonesia.

Baca juga: FTII soroti perlindungan data publik dalam revisi PP 82/2012

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019