Jakarta (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri menyoroti urgensi perlindungan cagar budaya yang seharusnya diarahkan selain untuk menjamin kepastian hukum, juga untuk menyejahterakan masyarakat lokal.

Pengembalian benda cagar budaya dari luar negeri adalah amanah nasional yang perlu dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia, demikian disampaikan dalam keterangan tertulis Kemlu yang diterima di Jakarta, Rabu.

“Dalam hal ini, perumusan legal consideration menjadi penting untuk menetapkan perlu tidaknya ratifikasi konvensi pelindungan cagar budaya terkait,” kata Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) Kemlu Damos Dumoli Agusman dalam kegiatan “Perlindungan Cagar Budaya: Pengembalian Benda Cagar Budaya” di Yogyakarta, Rabu.

Pertemuan tersebut dilatarbelakangi maraknya penjualan benda cagar budaya yang disinyalir diperoleh secara ilegal di luar negeri.

Padahal, kata Damos, benda cagar budaya tidak hanya mengandung nilai sejarah, tetapi juga memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.

Ia menyampaikan bahwa ekonomi berbasis budaya (cultural-based economy) yang merupakan basis ekonomi kreatif, dapat menjadi motor penggerak perekonomian negara.

Untuk itu, dipandang perlu peningkatan pemahaman masyarakat Indonesia atas pentingnya pelindungan benda cagar budaya, termasuk pengembalian benda cagar budaya yang ada di luar negeri.

Dr. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, yang hadir sebagai narasumber pertemuan tersebut menyampaikan bahwa sudah waktunya bagi pemerintah Indonesia untuk menentukan posisi mengenai rencana ratifikasi Konvensi 1970 UNESCO tentang Cara Melarang dan Mencegah Impor, Ekspor dan Pengalihan Kepemilikan Cagar Budaya Secara Tidak Sah serta Konvensi 1995 UNIDROIT tentang Benda Budaya yang Dicuri atau Diekspor Secara Ilegal.

Pentingnya meratifikasi dua konvensi tersebut dipicu oleh Undang-Undang (UU) RI No.11/2010 tentang Cagar Budaya dan UU RI No.5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mensyaratkan perlunya pelindungan benda cagar budaya termasuk pemulangan/repatriasi benda tersebut.

Baca juga: Dirjen Kebudayaan nyatakan Belanda kembalikan 14.000 artefak kuno

Baca juga: IPC jajaki pemindahan artefak Indonesia dari Belanda ke Museum Maritim


Dr. Wahyu Yun Santoso, pakar hukum publik internasional Universitas Gadjah Mada, mendukung pemikiran tersebut dengan menekankan bahwa peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku perlu diperbarui dengan mengacu pada kasus-kasus terakhir mengenai pencurian benda cagar budaya.

Pertemuan "Pelindungan Cagar Budaya" itu merupakan tindak lanjut dari diskusi kelompok terarah (FGD) tentang Perlindungan Cagar Budaya yang diselenggarakan pada 2018.

FGD yang dihadiri wakil dari kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan akademisi itu memandatkan Kemlu untuk menyusun standar prosedur operasional/SOP dalam rangka pengembalian benda cagar budaya.

Pada 2018, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyaksikan penyerahan lima artefak Indonesia dari Australia kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Lima artefak itu terdiri dari tiga tengkorak Suku Dayak dan dua tengkorak Suku Asmat yang diselundupkan ke Australia.

"Pertemuan Perlindungan Cagar Budaya 2019" dihadiri oleh wakil-wakil dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian RI, Arsip Nasional RI dan wakil unit terkait di Kementerian Luar Negeri serta akademisi Universitas Gadjah Mada.

Di akhir pertemuan, peserta menyampaikan apresiasi kepada Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu atas tindak lanjut pembahasan pelindungan cagar budaya dan perumusan dokumen SOP pengembalian benda cagar budaya.

Baca juga: Pemerintah Akan Ikut Lindungi Cagar Budaya

Baca juga: Perlindungan Cagar Budaya Lemah


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2019