memunculkan pertanyaan besar terhadap upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah
Jambi (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi menyatakan bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Jambi 2019 termasuk kategori parah dan hampir mendekati Karhutla yang terjadi pada 2015 lalu.

Direktur Walhi Jambi, Rudiansyah di Jambi Kamis mengatakan, hasil kajian dan analisis karhutla 2019 dan data luasan kebakaran yang berhasil dikonsolidasikan maupun yang diolah dengan menggunakan data yang bersumber dari satelit landsat 8 dan Sentinel 2 pada periode 1 Agustus hingga 31 Oktober 2019 termasuk kategori parah.

Area terbakar yang diolah dengan metode Normalize Burn Ratio dan Hotspot overlay menunjukkan angka luasan kebakaran 165.186,58 hektare dengan komposisi di wilayah gambut 114.900,2 hektare dan non gambut 50.286.38 hektare.

Baca juga: Gubernur Jambi perpanjang darurat karhutla hingga Hari Pahlawan
Baca juga: Ribuan masker dibagikan untuk warga Jambi yang terpapar asap karhutla


Dari 46 perusahaan yang mengalami kebakaran di wilayah konsesinya, sampai saat ini hanya empat perusahaan yang secara serius berlanjut dalam proses persidangan dan hanya dua perusahaan yakni PT RKK dan PT DHL yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Sehingga upaya penegakan hukum terhadap 12 perusahaan terbakar yang diproses oleh Polda Jambi, tujuh perusahaan yang disegel oleh Gakum KLHK dan dua perusahaan berstatus tersangka di 2019 ini di Provinsi Jambi, masih sangat diragukan dalam kepastian hukumnya jika proses penegakan hukum yang dilakukan sama halnya yang dilakukan pada peristiwa karhutla 2015, kata Rudiansyah.

Selain itu, upaya pemulihan wilayah gambut yang telah terbakar dan memiliki potensi kembali terbakar yang dilakukan oleh Pemerintah dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG), sampai saat ini belum memperlihatkan hasil yang maksimal.

"Terbakarnya kembali wilayah gambut yang jadi wilayah prioritas restorasi di tahun 2019 ini, yang diantaranya berada di perusahaan PT RKK Desa Puding, Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muarojambi, memunculkan pertanyaan besar terhadap upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah dan pihak perusahaan," kaya Rudiansyah.

Baca juga: Kabut asap masih selimuti Kota Jambi meski sempat diguyur hujan
Baca juga: Kabut asap semakin pekat, Jambi liburkan sekolah


Dari pantauan Walhi Jambi terhadap objek kebakaran lahan dan hutan di 2019 ini, selanjutnya ada dua kesamaan secara tipologi wilayah dan kejadiannya. Pertama adalah hampir secara keseluruhan wilayah yang terbakar pada periode 2019 ini adalah wilayah yang telah mengalami kebakaran di 2015 lalu.

Kedua adalah, wilayah yang kembali terbakar ditahun 2019 ini berada tidak jauh dengan areal konsesi, dengan batas kanal kanal perusahaan, baik perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun areal Hutan Tanaman Industri, sebab itu Walhi menyimpulkan bahwa upaya pemulihan tidak dilakukan dan dilaksanakan oleh pemegang izin yang berada di wilayah prioritas restorasi atau wilayah kebakaran.

Kemudian fasilitas dan sarpas karhutla perusahaan pemegang izin tidak tersedia. Sebab karhutla yang terjadi di Jambi 2019 banyak berada di wilayah yang sudah dibebankan izin (Konsesi Perusahaan).

Walhi juga merekomendasikan, pemerintah agar melakukan evaluasi dan audit secara menyeluruh terhadap subjek dan objek yang terlibat dalam pelaksanaan restorasi gambut yang ditelah dilakukan.

Kemudian melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan yang wilayah konsesinya mengalami kebakaran, secara cepat dan transparan. Negara dan pihak-pihak perusahaan yang terbakar, harus bertanggungjawab secara materil untuk memberikan biaya pemulihan bagi korban karhutla.

"Untuk sektor Perbankan yang memberikan pinjaman kepada perusahaan sektor perkebunan dan kehutanan yang menyebabkan karhutla harus bertanggungjawab dan menghentikan dukungan," kata Rudiansyah.

Baca juga: Kabut asap semakin pekat di sore hari di Jambi
Baca juga: Polda Jambi tangani 12 perusahaan perkebunan terlibat karhutla
Baca juga: Pemegang konsesi harus dibebani tanggung jawab cegah karhutla







 

Pewarta: Nanang Mairiadi
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019