Jakarta (ANTARA) - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengumpulkan para akademisi, penceramah, pengajar, dan pemerhati dari seluruh perguruan tinggi untuk menyamakan persepsi tentang pembelajaran Pancasila.

"Kami ingin bersinergi dengan mereka, di antara mereka sebagian besar sudah baik-baik. kita ingin lakukan sebuah dialog bersama, supaya ada persepsi yang sama," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPIP Prof Hariyono, di Jakarta, Senin.

Hal tersebut disampaikannya saat Pembekalan Materi Pendidikan dan Pelatihan Pembinaan Ideologi Pancasila Bagi Penceramah, Pengajar, dan Pemerhati yang digelar di BPIP, di Hotel Borobudur, Jakarta.

Hariyono menjelaskan bahwa pembelajaran Pancasila tidak harus melulu konvensional, tetapi bisa diajarkan sesuai dengan sasarannya, misalnya anak-anak muda sebagai tanggung jawab demi kelangsungan bangsa.

"Ancaman kita yang lebih parah bukan ancaman fisik, tetapi nonfisik, seperti ideologi, sekarang gerakan intoleran, radikalisme, itu ancaman riil. Gimana negara bisa maju kalau antarelemen bangsa saling curiga, bahkan saling perang?" tegasnya.

Maka bersatu menjadi penting, kata dia, tetapi bersatu tidak cukup menjadikan bangsa besar kalau tidak membuat bangsa menjadi maju sehingga perlu penguasaan iptek.

"Itu kan sering kali di pelajaran Pancasila enggak dibahas, sehingga teman-teman yang punya prestasi di bidang iptek tidak kita anggap Pancasilais. Padahal, itu kan membanggakan," katanya.

Sebagai tindak lanjut, Hariyono menjelaskan para peserta pembekalan itu akan difasilitasi untuk membentuk komunitas-komunitas untuk mengembangkan diskusi tersebut.

"Selain kita fasilitasi, di perguruan tingginya kita harapkan bisa menularkan ilmunya untuk dikembangkan lebih jauh," katanya.

Hariyanto menambahkan bahwa Pancasila secara teori tidak boleh ditinggalkan, juga praktik Pancasila tidak boleh ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari.

"Jadi, harus dibedakan ketika berhadapan dengan sesama ilmuwan, konsep-konsep filsafat Pancasila penting, namun ketika berhadapan dengan rakyat biasa maka contoh-contoh, bahasa sederhana, lebih penting," katanya.

Baca juga: BPIP: Intoleran akibat tidak biasa berpikir reflektif

Baca juga: Kembalikan Pendidikan Pancasila, BPIP ajak ketemu Kemendikbud-Kemenag

Baca juga: BPIP: Ajarkan Pancasila dari PAUD sampai perguruan tinggi

Baca juga: BPIP: Kesbangpol jangan hanya dijadikan "pemadam kebakaran"

 

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019