Purwokerto (ANTARA) - Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Luthfi Makhasin PhD, mengatakan, perlu pemahaman yang tepat terkait dengan masalah radikalisme dan deradikalisme.

"Secara konsep, radikalisme memang tidak ada kaitannya dengan agama (tertentu)," katanya, di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.

Akan tetapi setelah 2001 dan perang terhadap terorisme, kata dia, istilah radikalisme itu dipakai oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme untuk merujuk ke pemahaman keagamaan yang dianggap tidak arus utama.

"Kita mesti bedakan radikalisme dalam tiga hal," kata dia.

Baca juga: Gubernur Lemhannas RI: Radikalisme dan investasi tidak ada hitam putih

Baca juga: Ahli sebut radikalisme sudah mewabah


Dalam hal ini, kata dia, radikalisme pandangan keagamaan yang ciri utamanya adalah takfiri atau mengkafirkan golongan lain.

Selain itu, radikalisme dalam pengertian ideologi, yakni orang-orang yang menganggap Islam semestinya menggantikan Pancasila sebagai dasar negara.

"Sementara yang ketiga, radikalisme dalam pengertian politik. Ini adalah jenis radikalisme yang mencoba meruntuhkan struktur politik negara dan bangsa," katanya.

Lebih lanjut, Luthfi mengatakan strategi deradikalisme tentunya juga mesti disesuaikan dengan jenis radikalisme yang dihadapi.

Ia mengatakan dalam upaya deradikalisme terhadap orang-orang yang terpapar radikalisme pandangan keagamaan, tentunya yang paling berperan adalah tokoh-tokoh agama yang moderat untuk memberi pandangan melawan paham takfiri.

Sementara untuk deradikalisme terhadap radikalisme dalam pengertian idelogi, kata dia, strategi yang dilakukan bisa melalui kampanye melalui media dan pendidikan.

Baca juga: Akademisi sebut radikalisme ancaman nyata

Baca juga: Akademisi: Penguatan Pancasila mampu cegah radikalisme


"Kalau upaya deradikalisme terhadap radikalisme dalam pengertian politik, tentu lewat cara-cara politik untuk menegaskan kembali bahwa NKRI adalah final," katanya.

Ia mengakui upaya deradikalisme di Indonesia sudah berjalan lumayan bagus dan perlu ditingkatkan, misalnya deradikalisme bisa masuk dalam kurikulum sekolah sebagai bagian dari materi manajemen risiko atau bisa juga kampanye media massa.

"Yang perlu digarisbawahi, deradikalisme tidak bisa dikerjakan sendirian oleh aparat keamanan, perlu keterlibatan semua pihak," katanya.

Disinggung kasus bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan, dia mengatakan, kalangan pengamat terorisme melihat jika sekarang ada pergeseran sasaran teror.

Dulu, kata dia, sasaran teror adalah simbol-simbol barat seperti kasus bom Bali maupun kasus bom di JW Marriott, Jakarta, namun sekarang sasarannya adalah polisi yang terlihat dari maraknya penyerangan terhadap markas kepolisian.

"Saat ini sasarannya adalah polisi karena polisi dan khususnya Densus 88, mereka anggap simbol negara thogut. Kenapa bukan militer, karena secara aturan memang terorisme adalah isu keamanan yang jadi wewenang polisi," katanya.

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019