Makassar, 16/9 (ANTARA) - Aksara "Lontara" harus kembali di bumikan di Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai salah satu upaya dalam mempertahankan budaya lokal, kata Syahrial Tato, budayawan Sulsel. "Pembumian aksara tradisional yang lahir dari budaya Makassar dan dua etnik lainnya yakni Bugis dan Toraja, harus dimulai dari pendidikan dasar," ujar pendiri Dewan Kesenian Makassar (DKM) itu di Makassar, Selasa. Pengenalan aksara Lontara, lanjutnya, sebenarnya sudah menjadi muatan lokal pada tingkat SD pasca kemerdekaan hingga tahun 1980-an. Namun, setelah itu, kurikulum pendidikan tidak lagi memasukkan pelajaran aksara Lontara. Berkaitan dengan hal tersebut, aksara Lontara itupun semakin terpinggirkan dan hanya dibahas pada momen-momen tertentu, jika ada peringatan kebudayaan. Barulah menjelang 400 tahun Kota Makassar tahun lalu, aksara Lontara mulai diangkat kembali oleh Pemkot Makassar, namun baru sampai pada pemberian nama jalan di kota ini. Mengenai pembentukan Dewan Ketahanan Budaya (DKB), ia mengatakan,akan memegang peranan penting untuk menggali budaya lokal di daerah ini. Alasannya, arus modernisasi semakin mengikis budaya lokal, sehingga dikhawatirkan generasi muda saat ini lebih cenderung menerapkan budaya global atau budaya barat yang tidak sesuai dengan kondisi daerah. Salah satu contoh budaya lokal Bugis-Makassar-Toraja adalah filosofi "sulapa eppa" (empat sisi/unsur) dalam kehidupan yang mengutamakan keselarasan, kurang diterapkan lagi dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam pengelolaan pemerintahan. Padahal keempat unsur itu yakni tanah, air, api dan angin sebagai konsep satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam hidup dan kehidupan manusia yang akan membawa keselarasan jika diterapkan dengan baik. Selain itu, Syahrial mengatakan, filosofi etos kerja dari budaya Bugis Makassar yakni "Resopa Temmangingngi naletei Pammase Dewata" atau kegigihan dalam bekerja akan mendapat berkah Tuhan adalah prinsip hidup yang mampu mengeliminasi angka pengangguran serta pengaruh budaya "instant" yang ingin cepat mendapat hasil tanpa bekerja berat. "Budaya lokal seperti inilah yang perlu dibumikan kembali, sehingga masyarakat tidak hanya selalu berharap dari bantuan pemerintah, tetapi memiliki rasa malu jika terus menerima bantuan baik dari pemerintah maupun orang lain," ujarnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008