Oleh John Nikita Solok (ANTARA News) - Solok yang biasa sepi, apalagi saat Ramadhan, pekan lalu berdentum riang. Kesunyian kota yang dijuluki Lumbung Padi itu berubah total, tatkala iring-iringan empat kendaraan truk pengangkut puluhan pemusik tetabuhan menyeruak masuk dari gerbang sebelah Barat. Mereka yang di atas truk adalah personil kelompok musik etnik-modern Pesona Wangka dan Lembaga Musik Indonesia. Bermodalkan instrumen bedug ukuran besar dan kecil, juga dram dan perkusi lainnya, para pemusik asyik bermain sambil menyanyikan lagu-lagu yang beragam, mulai dari repertoir Islami seperti Shalawat Badar, lagu daerah Jali Jali, hingga nomor-nomor dangdut jenaka semacam Kucing Garong dan SMS. Semua tampak gembira menggerakkan tangan dan tubuhnya secara kompak dan teratur. Selain vokal para pemusik, melodi lagu sering kali terdengar mengalun tegas dari lobang terompet Betawi, yang dimainkan salah seorang anggota kelompok tersebut. Rangkaian not hasil tiupannya seperti penari cantik yang lincah bergerak di sela kesesakan ritem bedug, dram dan perkusi lainnya. Rabu, hari kesepuluh bulan September, sekitar pukul tiga sore, cuaca langit kota Solok pun cerah. Mentari memancarkan cahaya hangat, terhalang sedikit saja gumpalan awan putih nan berkilau. Di tengah reaksi masyarakat yang tertegun, terheran-heran, tersenyum, dan yang tertawa senang, iring-iringan meluncur perlahan di jalan raya menuju Lapangan Merdeka, di tengah kota. Di lapangan sepakbola berumput hijau itu terlihat keramaian dan kesibukan panitia Pentas Akbar Sampoerna Hijau Parade Bedug 2008, Semua terlihat sigap bergerak menyiapkan segala sesuatu, termasuk kelangkapan panggung dan tata suara, demi satu acara besar lomba tabuh bedug dan konser musik. Dunia Band, Meteor, Pesona Wangka, dan GIGI adalah bintang-bintang yang bakal baraksi untuk menghibur warga kota Solok, malam itu. Kota Solok, 60 kilometer arah Timur Padang, Sumatera Barat, adalah kota kedua yang dilewati rombongan parade, sebelum menuju Depok, Jawa Barat, melalui Muara Bungo, Jambi, Palembang, Lampung, Cilegon, Serang, Tangerang, Jakarta, Bogor, Sukabumi, Karawang, dan Bekasi. Perjalanan dari Padang ke Depok itu adalah satu dari dua rute Sampoerna Hijau Parade Bedug 2008, mulai tanggal 9-21 September. Rute satunya lagi adalah dari Sumenep, Madura ke Depok, melalui Surabaya, Gresik, Mojokerto, Kediri, Madiun, Solo, Jogja, Magelang, Semarang, Pekalongan, Tegal, Cirebon, Tasikmalaya, Garut, dan Bandung. Parade itu sendiri kegiatan tahunan sejak pertama kali diadakan tahun 1999. Tujuan utamanya melestarikan tradisi bedug dengan cara meningkatkan minat masyarakat pada budaya yang telah berusia ribuan tahun itu. Selain menjadi bagian dari masjid, bedug dalam perkembangan budaya di Tanah Air juga dimanfaatkan sebagai instrumen musik. Pendek kata, tetabuhan itu tak lagi hanya ditaruh di masjid dan dipukul untuk memberi tanda waktu sembahyang, tetapi juga dibawa keliling saat Malam Takbiran, usai puasa terakhir di bulan suci. Saat bertakbir, masyarakat di kampung dan di kota besar sekalipun membawa bedug berkeliling sambil ditabuh beramai-ramai, dan dari sinilah bedug dikenal sebagai budaya rame-rame (orang ramai). Bagi Sampoerna Hijau, kegiatan ini sudah berusia 10 tahun, tetapi penyelenggaraannya merupakan yang ke-11 kali. Pasalnya, pada 2000 terjadi Lebaran sebanyak dua kali. "Karena Hari Lebaran itu maju terus, kita pernah dua kali mengalaminya, yakni di bulan Januari dan Desember 2000," kata Marketing Area Manager Sampoerna, Agus Basuki, saat memberikan kata sambutan pada acara pelepasan parade, di halaman parkir GOR H. Agus Salim, Padang. Konon, tradisi bedug berasal dari India dan China, Tradisi itu menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia melalui Jepang dan Korea. Etnomusikolog Rizaldi Siagian, ketika berbicara dalam diskusi "Peran Bedug Dalam Perkembangan Budaya Indonesia" di Jakarta, belum lama berselang mengatakan bahwa bedug semula digunakan sebagai alat komunikasi, penanda waktu ritual keagamaan di kuil Budha, dan peyebarannya ke seluruh dunia mengikuti kegiatan syiar para pemuka agama itu. Pembicara lainnya, Yudhistira Ardi Nugraha Moelyana Massardi, mengatakan bahwa bedug kemungkinan masuk ke Indonesia untuk pertama kali ketika armada Laksamana Cheng Ho dari China merapat di pantai Semarang, Tanah Jawa, tahun 1413. Penulis novel "Arjuna Mencari Cinta" (1977) ini menuturkan, Raja Jawa saat itu meminta Cheng Ho menghadiahkan bedug sebagai ikatan persahabatan, dan sejak itu alat tetabuhan tersebut menjadi bagian dari masjid. Pelepasan rombongan parade berlangsung sekitar kentong 10 pagi waktu Padang. Ritualnya berupa pementasan Tari Silek Galombang, yang dibawakan oleh sejumlah penari wanita dan penari pria dari kelompok Indo Jati. Hujan kecil yang mengguyur sebelum dan sesudah upacara, seolah-olah melukiskan tangisan sesungguk warga masyarakat yang kehilangan hiburan gratis Pentas Akbar Parade Bedug 2008.. Izin keramaian yang tidak dikeluarkan penguasa Ibukota Sumatera Barat membuat mereka batal menyaksikan aksi para finalis Lomba Tabuh Bedug, juga penampilan jawara kompetisi beduf Asia Pasifik, Pesona Wangka, belum lagi aksi panggung Dunia Band, Meteor, dan tentu saja GIGI, secara cuma-cuma. Pihak pemerintah, yang diwakli Asisten II Walikota, Indra Citra, sama sekali tak menyinggung tentang alasan penolakan. Dalam orasinya, ia hanya mengatakan, "Satu bedug dipukul, sudah heboh orang se kampung. Apalagi banyak bedug dan dipukuli rame-rame. Mudah-mudahan acara ini dapat menghibur masyarakat kota Padang." Berbeda dari Padang, di kota Solok cuaca justru cerah. Penyelenggara yang semula berencana "numpang lewat", atas izin pemda setempat menetapkannya sebagai kota pengganti. Tampaknya, mereka mencoba untuk tetap memberi peluang bagi warga kota Padang yang ingin mendapatkan hiburan setahun sekali itu, mengingat jarak antarkedua kota tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan berkendara mobil atau sepeda motor dalam waktu sekitar satu jam. Meski hanya kota tingkat dua, sambutan warga Solok ternyata antusias sekali. Lapangan Merdeka pun berubah menjadi pusat keramaian, dibanjiri ribuan anak muda dan orang dewasa sejak sore hingga waktu tengah malam. "Mumpung gratis, apalagi ada GIGI," begitu komentar seorang wanita muda yang bersama sejumlah temannya menonton acara dari dekat pagar pembatas panggung. Acara Pentas Akbar diawali Lomba Tabuh Bedug, yang mempertemukan tujuh grup hasil audisi di Padang dan sekitarnya. Kompetisi berlangsung dalam waktu kurang dari satu jam, karena setiap peserta hanya diberi kesempatan membawakan satu karya berdurasi kurang dari lima menit. Dewan juri, yang diwakli sejumlah musisi Pesona Wangka, menetapkan grup 1,5 Blitz sebagai pemenang dan berhak mendapatkan hadiah uang tunai Rp2 juta, selain piala bedug mini dan hak mengikuti babak grand final di Depok, nanti.Mereka akan berkompetisi menghadapi 10 finalis dari daerah lainnya. "Kami senang, dan akan terus berlatih agar bisa tampil semaksimal mungkin di grand final," begitu janji yang diucapkan Rudi selaku juru bicara grup 1,5 Blitz. Setelah penyerahan hadiah, acara dilanjutkan dengan penampilan Dunia Band, disusul Meteor, Pesona Wangka, dan akhirnya Armand Maulana dan kawan-kawan sebagai penampil pamungkas. Pesona Wangka yang membawakan sejumlah lagu religius dalam balutan "world music" bernafaskan rock, membuat penonton muda semakin merapat ke arah panggung, demi melihat kelompok yang memainkan instrumen bedug, dram, bas, gitar dan kibor elektrik itu tampil enerjik, terutama sang vokalis yang bergerak lincah ke depan dan ke belakang, termasuk beraksi di dekat panggung dram. Seluruh enam lagu berhasil dibawakan Pesona Wangka dengan mulus, dan mereka mampu mengajak penonton bernyanyi seperti paduan suara. Menjelang pertunjukan Pesona Wangka usai, GIGI menyempatkan diri unruk jumpa pers di belakang panggung. Armand, Dewa Bujana, Thomas Ramadhan dan Hendy mengaku sangat mendukung kegiatan Parade Bedug, karena tujuannya yang mulia, melestarikan budaya bangsa yang sudah berusia sangat tua. "Prinsipnya, upaya melstarikan seni budaya, apapun itu, akan kami dukung. Apalagi bedug boleh dibilang identik dengan bangsa Indonesia," kata Armand. Mengaku baru pertama kali tampil di Solok selama 15 tahun berkiprah, Armand, Bujana, Thomas dan Hendy membawakan sembilan lagu dari album religinya, lima di antaranya dibuat bersambung, tanpa jeda. Membuka konser dengan lagu Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya, pertunjukan GIGI mampu membuat suasana semakin panas. Paling tidak, mobil pemadam kebakaran yang disiapkan harus beberapa kali menyemburkan air ke arah penonton yang berjingkrak dan berjejalan di bagian depan panggung. Gairah penonton agak mereda ketika GIGI melantunkan lagu "Kusadari" karya Oddie Agam, tetapi kemudian kembali menggelegak hingga Armand menyanyikan Pintu Sorga sebagai tembang penutup, dan langsung meninggalkan panggung. Tidak ada suara protes dari penonton. Mereka tampaknya puas, dan secara teratur bergerak keluar dari arena pertunjukan dengan tertib. Beberapa di antaranya sibuk memperhatikan kendaraan panitia, berharap dapat melihat musisi idolanya dari dekat. Kebijakan penyelenggaraan parade di dua rute (Sumatera dan Jawa) dalam waktu bersamaan, 9-21 September, merupakan langkah baru yang dilakukan Sampoerna Hijau. Sebelumnya, parade hanya pada satu rute, Jawa ke Sumatera atau sebaliknya, kecuali tahun lalu yang juga dilakukan di Jawa dan Sumatera tetapi secara terpisah dan dalam waktu yang berbeda pula. Di samping GIGI, Power Slaves, Seurieus, Ari Lasso, Ungu, Naff, Nidji, Andra & The Backbone, Drive, Pesona Wangka, parade tahun ini juga didukung artis dan band sedang naik daun semacam Juliette, d`masiv, sectornine, nine ball, Bonus, coin, Dunia Band, Meteor, Seventeen. Marvels, Angkasa, Michael says, Atina, Saskia, Justice Voice, Cathy&Galatian, Al Mahabbatain, dan RSP. Kota-kota yang menjadi tempat Pentas Akbar selain Solok adalah Lampung, Serang, Bogor, Sukabumi, Sumenep, Madiun, Solo, Tegal, Tasikmalaya dan Depok. Sekilas menoleh ke belakang, kegiatan parade bedug dimulai dengan pembuatan Bedug Raksasa Sampoerna Hijau berukuran panjang empat meter dengan garis tengah 2,02 meter pada 1999. Tetabuhan seberat lebih dari satu toni ini ditempatkan di Masjid Agung Tasikmalaya, dan pertama kali dibawa berparade ke 112 kota di wilayah Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa pada 2000. Selanjutnya, selama dua tahun berturut-turut, bedug yang dibuat di Jogja selama dua bulan itu kembali dibawa keliling 108 kota di Jawa. Pada 2003, parade mulai menginjak daratan Sumatera, dengan rute Lampung-Pasuruan, Jawa Timur. Tahun berikutnya, penyelenggaraan parade dilakukan dengan rute Jakarta-Jawa Tengah, sebelum kembali menyeberang ke Sumatera dengan rute Jogja-Lampung pada 2005. Pada 2006, parade dilakukan dengan dua rute, Jawa dan Sumatera, tetapi secara terpisah, dan pada 2007 kembali menggunakan rute Lampung-Jawa. Baru pada tahun ini parade diselenggarakan di Jawa dan Sumatera secara terpadu dan dalam waktu bersamaan. "Kami selalu ingin mencari sesuatu yang baru agar acara ini semakin semarak, dan masyarakat semakin tertarik serta mencintai bedug, Dari sini kami berharap tradisi kuno tabuh bedug ini bisa lestari dan mengakar serta jaya sebagai budaya Indonesia," kata brand manager Sampoerna Hijau Suminto Alexander. Ia mengatakan hal itu untuk menanggapi pendapat Rizaldi Siagiaan bahwa Parade Bedug seharusnya bisa ditingkatkan menjadi Festival Bedug Dunia yang menghadirkan para seniman dari manca negara. Rizaldi mengatakan, selama ini tidak ada yang istimewa dalam penyelenggaraan parade bedug, selain sebagai upaya meramaikan suasana bulan puasa. Tampilnya band dan artis populer hanya sekadar daya tarik tambahan dan bukan merupakan "core program". Upaya pelestarian dan pengenalan tradisi bedug ke luar Indonesia pun dilakukan banyak pihak, termasuk kelompok Krakatau dan pengrajin bedug di berbagai daerah, termasuk di Palembang yang tekenal dengan Pasar Bedug, di Bandung dengan Festival Bedug, juga di Lampung "Karena itu, saya sungguh berharap Sampoerna Hijau mengadakan acara yang lebih besar, yang lebih internasional, dan di Indonesia," katanya. Atas pendapat itu, Suminto menegaskan bahwa pihaknya akan terus melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas parade bedug.. Soal menjadikannya sebagai sebuah festival tingkat dunia di Indonesia, ia mengatakannya sebagai "Itu bukan hal yang tidak mungkin, tetapi jelas juga bukan perkara yang mudah dilakukan. Namun, kalau ada peluang, kenapa tidak?" (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008