Jakarta (ANTARA) -
Udara di kawasan Munjul, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. masih terasa sejuk saat Siti Romlah terbangun dari tidurnya, Kamis (21/11) pagi.
 
Jarum panjang jam belum menyentuh ke angka enam, tapi kesibukan mulai terlihat di permukiman padat di dataran cukup tinggi di ujung timur Jakarta yang berbatasan dengan Depok, Jawa Barat.
 
Pada rumah sederhana di RT 02/RW 06 Siti sudah siap menenteng dua ember kosong ukuran sedang. Sementara Pardi, tetangganya, sudah lebih dulu bergegas membawa galon yang dikepit di antara ketiak.
 
Pagi itu menjadi pekan kedelapan bagi 50-an kepala keluarga di Munjul dilanda krisis air. Itu adalah imbas kemarau panjang yang membuat sejumlah sumur warga mengering.
 
Langkah Siti terhenti di barisan keempat pada antrean yang mengular di dekat ruang wudu Mushala Al Gajan, berjarak selemparan batu dari kediamannya.
 
Kedatangan Siti disambut hangat pengantre air lainnya yang sudah lebih pagi tiba. Mereka tak sungkan mempersilakan Siti lebih dulu menampung air wudu di embernya.

"Eh, Bu RT, mau sekalian nggak embernya saya isiin. Tapi airnya lagi 'butek' (keruh) nih," kata pengantre air di dekat keran.
 
Mushala Al Gajan menjadi salah satu sumber air andalan warga sebab sumurnya digali lebih dalam dari yang lain. Sumur warga hanya sedalam tujuh hingga sepuluh meter dari permukaan tanah.
 
"Idealnya kedalaman sumur di sini harus di atas 30 meteran, baru airnya bagus," ujar Siti yang sudah dua tahun terakhir menjabat sebagai Ketua RT 02.
 
Meskipun air yang keluar dari keran mushala keruh dan dianggap tidak layak konsumsi, tapi masih bisa dipakai warga untuk keperluan mandi, cuci dan kakus (MCK).

Baca juga: Warga Munjul andalkan air dari mushala
Warga RW 06 Munjul, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur mengantre pasoak air dari Mushala Al Gajan, Kamis (21/11/2019). (ANTARA/Andi Firdaus)
Kekeringan juga melanda RT 01 dan RTb03. Sebagian keluarga di wilayah itu saling mengandalkan pasokan air dari rumah tetangga yang sumurnya lebih dalam.
 
Untuk rumah yang bersebelahan, dipasang selang yang mengalir dari kamar mandi menuju bak penampungan tetangganya.
 
Hari itu Pardi lebih memilih ikut antrean di mushala ketimbang membeli air isi ulang seharga Rp500 pergalon. "Lumayan hemat dulu hari ini. Soalnya nanti siang akan ada kiriman bantuan dari pemda," katanya.
 
Bantuan
Empat jam berselang, bantuan datang. Satu unit truk bermuatan air dengan logo PT Aetra Air Jakarta di bagian tanki diparkir pada lahan kosong di seberang rumah Bu RT.
 
Senang betul warga menyambut kedatangan Aetra. Tidak kurang dari tujuh wadah air berbentuk derigen dan kemasan bekas cat berkapasitas 23 kilogram seketika berjejer di depan tutup tanki.
 
Total 7.000 liter air bersih bantuan mengalir melalui selang seukuran 3 inco. "Saya mintanya dua hari sekali dikirim bantuan. Kalau dari Aetra biasanya buat dimasak," kata Pardi.
 
Dua galon milik Pardi sudah terisi penuh air hasil olahan dari waduk Jatiluhur, cukup buat persediaan selama dua hari ke depan.
 
Meski pasokan bantuan diperoleh gratis, tapi untuk mengangkutnya menuju rumah cukup merepotkan warga. Mereka saling membantu mengangkat derigen dan galon sampai ke rumah tetangga.
 
Tidak sedikit pula warga mengeluh sakit pinggang sebab sudah berulang kali mondar-mandir mengangkut air.

Baca juga: 50 kepala keluarga di Munjul alami kekeringan
Warga RW 06 Munjul, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur mengantre pasoak air dari PT Aetra Air Jakarta, Kamis (21/11/2019). (ANTARA/Andi Firdaus)
Corporate Customer and Communication Manager PT Aetra Air Jakarta Astriena Veracia mengatakan, ketersediaan air bersih yang stabil pada mesin pengolah memungkinkan pihaknya untuk membantu sejumlah lokasi di Jakarta Timur yang kini dilanda krisis air tanah.
 
Dalam sepekan, pihaknya mendistribusikan rata-rata 21.000 kubik air menuju Munjul dan Bambu Apus, Cipayung, yang tengah dilanda kekeringan air tanah.
 
"Daerah itu memang kekeringan, air tanahnya yang kering sehingga kita melakukan bantuan," katanya.
 
Bantuan yang dikirim sesuai dengan permintaan warga melalui koordinasi dengan aparatur kelurahan maupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat.
 
Kemarau panjang yang membuat sebagian aliran sungai menuju Jakarta mengalami pengurangan debit dipastikan tidak terjadi pada pasokan air baku Aetra.
 
"Justru sebenarnya air Aetra itu bisa menjadi solusi masyarakat yang selama ini masih menggunakan air tanah," katanya.
 
Setiap harinya mesin produksi air bersih Aetra menerima pasokan rata-rata 10.500 kubik per detik dari Jatiluhur untuk kebutuhan total 460 ribu pelanggannya di Jakarta.
 
Terparah
Kemarau panjang yang melanda Jakarta diperkirakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berakhir saat memasuki November 2019. Tapi sampai sekarang belum berakhir.
 
Bagi sejumlah warga Jakarta yang mengalami krisis air bersih, tahun ini disebut yang paling parah bila dibanding tahun sebelumnya.
 
Biasanya kekeringan hanya melanda belasan rumah warga selama beberapa hari, tapi kali ini meluas ke sejumlah wilayah RW lainnya di Kelurahan Bambu Apus.
 
"Air sumur benar-benar kering, gak ada air sama sekali. Malah sudah sebulan lebih," kata Ketua RW 03 Kelurahan Bambu Apus, Herman.
 
Pekan lalu 30 kepala keluarga di RT 02/RW 03 Bambu Apus sempat dilanda kekeringan, tapi seiring hujan turun, air sumur kembali terisi air.
 
"Sumur warga di RT 02 gak pernah kekeringan, baru tahun ini kekeringan. Tahun ini paling lama dampaknya," katanya.
 
Ketua RT 02/RW 03 Bambu Apus, Adi Ismanto bahkan mengatakan sebagian warga menampung hujan untuk cadangan air akibat kekeringan yang melanda sejak sebulan terakhir.
 
"Ada aja warga yang nampung air pas hujan," katanya.
 
Hujan mengguyur sejumlah kawasan di Jakarta, termasuk wilayah Bambu Apus pada Kamis (21/11) sore.
 
Tidak kurang dari 25 dari total 96 warga Adi Ismanto diketahui menjadi korban kekeringan yang berlangsung sejak September 2019 akibat sumur air tanah yang hanya memiliki kedalaman 12-15 meter.
 
Dalam dua hari terakhir total 11.000 liter kubik air bantuan diberikan melalui produsen air swasta PT Aetra dan Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta Timur.

Warga RW 06 Munjul, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur mengantre pasokan air dari PT Aetra Air Jakarta, Kamis (21/11/2019). (ANTARA/Andi Firdaus)
Harapan
Lurah Munjul Henny Hermayani memastikan krisis air di wilayahnya akibat populasi penduduk yang terus bertambah setiap tahun. Hingga saat ini, tidak kurang dari 27 ribu jiwa bermukim di Munjul.
 
Situasi itu berimbas pada keterbatasan air tanah yang terus berkurang akibat pendirian bangunan secara masif dalam lima tahun terakhir.
 
Keterbatasan ruang terbuka hijau pada dataran tanah yang relatif tinggi di Jakarta itu membuat sebagian warganya dilanda kekeringan.
 
Henny meminta otoritas terkait memberikan bantuan dalam bentuk memperdalam sumur tanah guna mengatasi persoalan kekeringan yang melanda setiap tahun.
 
"Mayoritas warga saya ekonomi lemah, gak ada uang buat memperdalam sumur. Mudah-mudahan aspirasi ini bisa direalisasikan," katanya.
 
Solusi lain yang coba diajukan pihaknya adalah pengadaan tangki dan sumur artesis sebagai sumber air cadangan warga.
 
Sumur bersama itu bisa memanfaatkan lahan tersisa di RW 06 untuk digali menjadi sumber air baru bagi warga.
 
"Bisa juga kita pasang toren air. Yang penting warga tidak kekurangan air lagi," katanya.
 
Krisis air bersih di tengah sergapan banjir di beberapa kawasan Jakarta telah menunjukkan bahwa potensi sumber daya air belum terkelola secara optimal.
 
Mungkin Jakarta tidak perlu mengalami kekeringan atau kesulitan air bersih seperti yang melanda warga Cipayung jika semua potensi sumber daya air dikelola dengan optimal.
Baca juga: Krisis air Jakbar, PAM Jaya janjikan akses pipa rampung akhir tahun

Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019