Saya bertanya-tanya kenapa setiap kali saya beli susu saya dikasih gelas retak
Jakarta (ANTARA) - Hujan reda tidak sempurna, Jumat (22/11) siang itu, rintiknya masih membasahi jalanan, seorang wanita mengendarai sepeda kecil berwarna biru.

Berpostur setinggi 158 cm dan berat 45 kg, wanita berambut hitam seleher itu mengkayuh sepeda dengan kencangnya.

Namun karena ukuran sepeda lebih kecil dari tubuhnya, sekencang apapun kayuhannya laju sepeda itu mengaspal tidak sebanding dengan kecepatan kayuhnya.

Dhea (bukan nama sebenarnya) bergegas memarkirkan sepeda milik anaknya di sisi kiri warung waralaba berwarna serba kuning.

Hari menunjukkan pukul 12.54 WIB, sudah waktunya dia membagikan kupon Jumat berkah kepada siapa saja yang dikehendakinya termasuk tetangganya.

Dalam waktu singkat kupon itu sudah ludes berganti dengan anak-anak yang datang menyerbu warung waralaba miliknya.

"Ayo sini-sini silahkan ambil, nanti jajan lagi ke sini ya," kata Dhea kepada anak-anak yang antre untuk mengambil satu persatu paket makanan Jumat berkah darinya.

Total ada 30 paket nasi goreng plus jus oranye disediakan oleh Dhea gratis untuk kegiatan Jumat berkah di warungnya. Begitu setiap hari berkah itu, namun berbeda menu.

Ia mengatakan kegiatan Jumat berkah ini selain untuk sedekah juga untuk mempromosikan warung waralaba yang dikelolanya bersama mitra.

Dhea bukanlah siapa-siapa, hanya wanita berusia 43 tahun, telah divonis positif sebagai ODHA sejak 15 tahun silam.

Positif HIV
Ia terinfeksi dari sang suami yang meninggal pada 2004 setelah enam bulan dinyatakan ODHA akibat jarum suntik yang digunakannya sebagai pecandu narkoba.

Ketika suaminya dinyatakan positif, dokter telah menyarankan Dhea dan kedua anak perempuannya untuk menjalani tes HIV, namun ditolaknya lantaran belum siap mengetahui hasilnya, sambil terus berdoa kekhawatiran tidak menjadi nyata.

Tapi selepas 40 hari suaminya berpulang ke Rahmatullah, Dhea sakit-sakitan, batuk tak kunjung berhenti, dokter menyatakannya terkena TBC.

Setelah mengkonsumsi obat TBC selama tiga bulan, batuk tak kunjung juga reda, membuatnya sulit untuk makan, hingga berat badannya terus turun menjadi 20 kg, tersisa kulit pembalut tulang, Dhea sekarat seperti mayat hidup yang menanti ajal.

Keluarganya khawatir dengan kondisinya yang semakin memburuk, selama mengidap TBC, Dhea tidak bisa merawat kedua anaknya.

Dalam hati Dhea curiga kenapa batuknya tidak kunjung hilang, hingga akhirnya ia memberanikan diri bertemu dokter yang lantas menyarankan untuk melakukan tes HIV.

"Waktu itu saya sudah parah banget, dokter menanyakan apakah saya siap untuk tes, saya harus siap," kata Dhea.

Hasil tes yang diterima Dhea sempat membuatnya syok karena dirinya ternyata positif HIV dan ketika itu harapannya sirna bersama kenyataan bahwa suaminya meninggal usai dinyatakan sebagai ODHA.

Saat divonis HIV, kandungan virus dalam darahnya 750 ribu kopi per mililiter darah, dengan CD4 (sel darah putih) rendah sekali hanya 92.

Dhea merasa vonis itu membuat dunianya sudah berakhir, hanya bisa berpasrah diri dengan nasibnya.

"Waktu divonis itu sempat membuat saya sedikit syok, mungkin memang ini akhir dari segalanya," kata Dhea terisak dalam tangisnya.

Ibu empat orang anak ini hanya mempasrahkan dirinya mengikuti apa saja yang dikatakan dokter, harus minum obat, menjaga kesehatan, semua dilakoninya, tak lupa dia selalu memanjatkan doa kepada Tuhan, meminta maaf dan meminta waktu untuk tetap hidup dengan harapan ingin berbuat baik untuk orang lain.

Stigma dan diskriminasi
Tak cukup hanya berjuang untuk sembuh, Dhea pun harus berjuang melawan stigma dan diskriminasi yang dialaminya setelah divonis sebagai ODHA.

Stigma dan diskriminasi itupun didapatkannya dari keluarga, ibu, bapak dan adik-adiknya memisahkan segala perlengkapannya mulai dari piring, gelas, sendok makan, hingga pakaiannya.

Tidak cukup sampai di situ, Dhea pun harus merasakan hidup terasing dari anak-anaknya, merasa hidup sebagai monster yang harus dijauhkan dari siapa saja. Begitu pula dengan para tetangga.

Melihat penampilannya yang kian memburuk, tetangga curiga dengan sakitnya. Setiap hari Dhea membeli susu kental manis di warung tetangga, selalu diberi gelas retak.

"Saya bertanya-tanya kenapa setiap kali saya beli susu saya dikasih gelas retak, alasannya cuma tersisa gelas itu, padahal kalau gelasnya pecah saya luka justru lebih berbahaya lagi," kata Dhea.

Akhirnya wanita lulusan SMEA itu sadar ternyata tetangganya mengetahui status kesehatannya, sehingga menyisakan gelasnya dan menandai gelas minuman dengan gelas retak.

Dhea tidak bisa marah, baginya perlakuan itu didapatinya karena tetangganya, keluarganya tidak tau apa-apa tentang penyakit yang mematikan itu.

Kondisi tersebut justru melecut Dhea untuk bangkit dan berjuang melawan stigma, diskriminasi dan penyakitnya.

Dibantu dengan terapi antiretroviral (ARV) si obat ajaib yang rutin dikonsumsi sehari dua kali, mengembalikan stamina dan kondisi tubuh Dhea.

"Akhirnya saya berjuang bangkit, saya harus bangkit dan bangkit, perubahan itu ada dari saya badan kurus kering, hitam, akhirnya saya pulih menjadi gemuk, kembali lagi kulitnya jadi cantik, muka lebih cantik," kata Dhea.

Sebelum menikah dan dinyatakan ODHA, Dhea berprofesi sebagai seorang SPG (sales promotion girl) di toko serba ada di kawasan Pasar Baru, dia juga pernah menjadi kasir di waralaba ayam goreng milik luar negeri.

Menikah dengan seorang pekerja kapal Dhea hidup berkecukupan, bahkan sudah punya rumah sendiri di bilangan Koja, Jakarta Utara.

Sebagai ibu rumah tangga, Dhea tidak tau persis aktivitas suaminya selain bekerja di kapal, dia tidak tau suaminya seorang pencandu.

Selama merawat suami yang sakit menanti ajal, satu persatu harta pemberian suaminya ludes terjual, hingga rumah pun tergadai.

Berbagai pekerjaan dilakoninya, sebagai ODHA yang didampingi Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Dhea aktif menjadi relawan membantu para ODHA lainnya.

Dhea menjadi penerima bantuan usaha dari YPI, berbagai jenis bisnis dicobanya mulai dari warung nasi, penjual pulsa, hingga membuka salon dengan modal dari seorang dokter.

Tapi usaha itu satu persatu bangkrut karena tidak mampu mengelola keuangan dengan baik.

Meski berkali-kali jatuh bangun membangun usaha, Dhea pantang menyerah, inilah yang jadi nilai positif YPI memandang Dhea sebagai perempuan ODHA yang pantang menyerah.

"Dhea itu wanita hebat, benar-benar pekerja keras untuk kehidupannya, setiap usahanya macet dia bangkit lagi dan terus mencoba lagi," kata Sundari, konselor YPI.

Harapan ODHA 
Dhea memotong stigma tentang HIV/AIDS, setelah ditinggal mati suami pertama, dirinya menikah lagi dengan suami kedua yang masih sepupu suami pertama.

Dhea tidak menutupi statusnya, kepada calon suaminya dia menanyakan apakah mau menerima dirinya yang berpenyakit.

"Saya bilang saya sakit, mau tidak terima saya. Lalu dia tanya sakit apa, saya kasih jawab lewat buku tentang HIV supaya dia baca," kata Dhea.

Hingga akhirnya Dhea menikah untuk yang kedua kalinya pada 2007 dengan suami negatif HIV.

Karena tidak kunjung dikaruniai anak, Dhea terpaksa bercerai, lalu memutuskan merantau ke Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerja sebagai asisten rumah tangga.

Di rantau Dhea bertemu dengan suami ketiga yang juga menerima status dirinya sebagai ODHA dan menikahinya pada 2012, lantas dikaruniai seorang anak perempuan.

Entah apa yang terjadi, Dhea bercerai dan melanjutkan hidupnya bersama ketiga anaknya di rumah orang tuanya Jakarta.

Tahun 2015, Dhea bertemu dengan suami yang keempat, yang juga bisa menerima statusnya. Dari suami keempat lahir bayi laki-laki dengan status negatif HIV.

"Saya ingin membuktikan pada orang-orang tentang perempuan ODHA juga bisa menikah dengan laki-laki negatif dan punya anak negatif juga," katanya.

Dua anaknya yang lahir dari rahimnya setelah menjadi ODHA tenyata tidak mewarisi virus HIV yang ada di dalam tubuhnya.

Anak ketiganya kini berusia tujuh tahun dan anak laki-lakinya satu-satunya yang dimilikinya berusia 18 bulan jadi kebanggaannya.

"Anak saya empat, tiga perempuan satu laki-laki, yang laki-laki ini jadi calon pengganti Presiden Jokowi nantinya," kata Dhea penuh harap.

Dhea menyibukkan diri bekerja di warung waralaba, menyambi sebagai relawan peduli HIV/AIDS, mencari nafkah untuk membiayai keempat anaknya. Anak pertamanya sedang menempuh pendidikan di lembaga perguruan tinggi.

Anak adalah sumber kekuatan Dhea untuk bertahan, harapan memiliki usaha sendiri dan membelikan rumah untuk anak-anaknya adalah mimpi terbesarnya sebelum berpulang menghadap yang Kuasa.

Baca juga: YPI hilangkan stigma penderita HIV sebagai beban
Baca juga: YPI konsisten berdayakan ekonomi ODHA sejak 1999

Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019