Jakarta (ANTARA) - Sejak 8 tahun terakhir Komisi Yudisial menggunakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 sebagai acuan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Dengan aturan ini, KY melakukan fungsi pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim guna mewujudkan peradilan bersih di Tanah Air. Namun, aturan ini dinilai belum membuat posisi KY kuat. Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus menyebut terdapat kendala-kendala yang dialami pihaknya selama ini.

"Orang sering mengatakan kewenangan KY itu belum terlalu kuat sehingga ada posisi-posisi atau ketika menjalankan peran dan fungsinya tidak mampu maksimal," ujar Jaja dalam paparannya pada acara bertajuk "Konsolidasi Jejaring Komisi Yudisial" di Bogor, Jawa Barat, Jumat (22/11).

Kendala-kendala yang dimaksud, antara lain terkait dengan kewenangan untuk melakukan penyadapan yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2011.

Kewenangan penyadapan tersebut pada praktiknya sulit dijalankan karena berbenturan dengan aturan perundang-undangan lainnya.

Dalam Pasal 20 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 disebutkan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh hakim.

Baca juga: DPR Akan Berikan Penguatan Fungsi KY

Artinya, dalam melakukan penyadapan KY perlu meminta bantuan kepada penegak hukum lain, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Namun, wewenang penyadapan itu sulit untuk dilakukan lantaran masih terjadi silang pandangan antara KY dan penegak hukum.

Dalam Pasal 31 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE disebutkan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Sementara itu, tugas KY bukanlah bergerak dalam ranah penegakan hukum, melainkan penegakan etik. Terjadinya benturan antarperaturan itu pada akhirnya menyebabkan wewenang penyadapan tidak berjalan.

Ketua Bidang Layanan Informasi dan Hubungan Antarlembaga KY Farid Wajdi mengatakan bahwa permasalahan yang ada di KY pada konteks penegakan hukumnya menjadi sulit karena memang perspektif penegak hukum itu dalam tanda petik bias.

"Karena ada aturan-aturan yang memang kalau dihadapkan dengan aturan lain itu memang terkesan menjadi saling bertabrakan," ujarnya dalam kesempatan yang sama di Bogor.

Kendala lain yang ditimbulkan atas undang-undang yang berlaku saat ini adalah kurang kuatnya kewenangan KY dalam memberikan sanksi terhadap hakim yang melanggar kode etik.

Dalam Pasal 22D Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 disebutkan bahwa dalam hal dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim dinyatakan terbukti, maka Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung.

Namun, dalam sebuah wawancara di Jakarta, Kamis (14/11), Jaja mengatakan bahwa selama ini rekomendasi yang diusulkan KY ke Mahkamah Agung terkait dengan sanksi hakim tidak seluruhnya dijalankan.

Padahal, kata Jaja, pihaknya menginginkan agar rekomendasi sanksi hakim yang direkomendasikan KY bersifat final dan mengikat.

"Intinya bahwa kewenangan dari KY (memberi sanksi kepada hakim) bersifat final," kata Jaja.

Jaja mengatakan bahwa masih terdapat sejumlah kendala lainnya yang timbul karena pemberlakukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, seperti mengenai peranan menyangkut advokasi hakim, pengelolaan sumber daya hakim, komposisi anggota, peran kesekjenan, dan juga tentang kepegawaian di lingkungan KY.

Pengajuan Revisi Undang-Undang

Adanya kendala-kendala tersebut jika dibiarkan dapat melemahkan kinerja KY. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat KY pada masa yang akan datang adalah dengan mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.

Jaja menjelaskan bahwa usulan revisi UU tersebut sudah diajukan ke DPR sejak 2 minggu lalu, dan diharapkan bisa segera masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) periode 2019—2024.

Baca juga: Komisi Yudisial desak DPR revisi UU KY

Dengan adanya revisi terhadap UU itu diharapkan dapat berdampak secara signifikan terhadap penguatan KY.

Permasalahan-permasalahan yang timbul, seperti wewenang penyadapan yang sulit dilakukan atau rekomendasi sanksi terhadap hakim yang tak dilaksanakan MA, tidak terjadi lagi di kemudian hari.

"Harapannya supaya KY itu kuat, kewenangannya jelas. Jadi, misalnya KY sudah menjatuhkan etik, ya, tinggal dilaksanakan," kata Jaja.

Perjelas Posisi KY

Masih dalam acara "Konsolidasi Jejaring Komisi Yudisial" di Bogor, Direktur Eksekutif Indonesian Legal Rountable (ILR) Firmansyah Arifin mengatakan bahwa adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 dapat mempertegas posisi Komisi Yudisial dalam tatanan sebagai pengawas eskternal hakim.

"Suara publik sebenarnya menginginkan KY agar lebih bisa memainkan perannya, bagaimana bisa memperkuat suara publik dan harapan publik terhadap institusi peradilan. Jadi, pertegas saja bahwa KY sebagai lembaga pengawas eksternal hakim, kemudian porsi kewenangannya bisa dielaborasi," ujar Firmansyah.

Elaborasi kewenangan salah satunya bisa dilakukan melalui revisi Undang-Undang KY. Dengan begitu, kendala-kendala yang selama ini dihadapi KY dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat dieliminasi.

Firmansyah juga meminta publik turut berperan dalam mengawal putusan pelanggaran etik hakim yang direkomendasikan KY agar ditindaklanjuti oleh MA.

Selain itu, dia juga mengingatkan kepada KY dan MA agar memublikasikan hasil dari putusan sidang atau rekomendasi tersebut sehingga publik memahami kesalahan seperti apa yang dilakukan oleh hakim.

Baca juga: KY dorong revisi RUU Jabatan Hakim diselesaikan

Baca juga: Anggota MPR nilai UU Komisi Yudisial perlu direvisi


"Itu menarik sebenarnya, bukan hanya bagi kalangan akademisi, melainkan juga bagi kita untuk mengetahui proses-proses atau alur berpikir yang terjadi atau berjalan ketika seorang hakim dilaporkan sampai berujung pada pemberian sanksi," kata Firmansyah.

Firmansyah menegaskan bahwa yang terpenting saat ini adalah bagaimana KY mampu meyakinkan publik bahwa lembaga pengawasan hakim yang dibentuk pada tahun 2004 itu masih diperlukan keberadaannya untuk senantiasa memperbaiki institusi peradilan di Indonesia.

Jika momentum tersebut berhasil didapatkan, penguatan KY melalui revisi UU Nomor 18 Tahun 2011 akan bisa segera mendapat atensi dari DPR lantaran memperoleh dukungan penuh dari publik.

Penguatan lembaga melalui revisi UU yang selama ini diharapkan oleh segenap jajaran Komisi Yudisial bukan tidak mungkin akan terwujud dalam waktu yang tidak lama lagi.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019