Semarang (ANTARA) - Analis politik dari Universitas Diponegoro Teguh Yuwono menyebutkan referendum atau meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak MPR untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 tidak dikenal dalam sistem hukum nasional.

"Yang dikenal adalah mekanisme Sidang Umum MPR RI. Kalau referendum apa dasar hukumnya? Pasalnya, UU tentang Referendum sudah dicabut," kata Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Senin.

Baca juga: MPR dan Presiden sepakat dalami wacana amendemen UUD 45

Baca juga: Bamsoet: Pemilihan presiden langsung tidak diamandemen

Baca juga: MPR akan tindak lanjuti rekomendasi amendemen terbatas UUD


Sebelumnya, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh memandang perlu melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam membahas amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 terkait dengan masa jabatan presiden tiga periode.

"Kalau memang ada perubahan, jangan kita terkejut-kejut. Wajar-wajar aja. Tapi syaratnya seperti yang saya katakan, libatkan seluruh elemen publik," kata Surya di sela-sela perayaan HUT Ke-8 NasDem dan peluncuran mobil siaga Partai NasDem Provinsi Jawa Timur di JI Internasional Jatim, Surabaya, Sabtu (23/11).

Teguh Yuwono menegaskan bahwa dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak terdapat ketentuan tentang referendum.

Bahkan, Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/1998 telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Tap MPR RI Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum sehingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum perlu dicabut. Pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum ini melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1999.

"Jadi, tetap harus sesuai dengan tata cara yang diatur dalam konstitusi," kata Teguh Yuwono yang pernah sebagai Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Undip Semarang.

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019