Bandarlampung (ANTARA) - Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) mengharapkan satuan tugas (Satgas) beserta masyarakat desa dapat menjadi ujung tombak dalam mengatasi konflik antara manusia dengan satwa liar di desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

"Kami berharap dengan adanya pertemuan antara 16 satgas desa dari tiga Provinsi, Aceh, Bengkulu dan Lampung di desa Margomulyo, Kabupaten Tanggamus, Pringsewu, Provinsi Lampung ini dapat memberikan inspirasi dan semangat kepada mereka karena untuk mengatasi konflik dengan satwa liar ini butuh keikhlasan dari anggota satgas dan masyarakat desa yang berkenaan langsung," kata Direktur WCS Noviar Andayani, di Tanggamus, Senin.

Menurut dia, penanggulangan konflik antara satwa liar dan manusia tidak bisa di selesaikan sendiri oleh satgas namun butuh kebersamaan baik itu dari pemerintah, tingkat pusat, provinsi, daerah dan desa.

"Dukungan dari pihak-pihak terkait jelas sangat dibutuhkan oleh satgas dan masyarakat karena melakukan tugas ini mereka butuh waktu dan dana," katanya.

Baca juga: CRU minta pemerintah segera atasi gangguan gajah liar di Aceh Barat
Baca juga: Operasi halau gajah liar di Riau belum berhasil


Selain itu, lanjutnya, dengan adanya kegiatan berbagi cerita dari kelompok masing-masing satgas mereka dapat menciptakan cara ataupun teknologi baru dalam menangani atau menanggulangi konflik dengan satwa liar tanpa menyakiti hewan yang dilindungi oleh pemerintah.

Kemudian, memupuk rasa kebersamaan dan saling menguatkan antara mereka agar desa yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional tidak merasa sendiri dan mengetahui bahwa masih ada kelompok lain yang memiliki permasalahan yang sama.

"Kami juga menginginkan desa yang kita fasilitasi pembentukan satgasnya jadi fasilitator dan ditiru oleh daerah lainnya yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi," kata dia.

Ia mengatakan bahwa misi WCS yakni membantu pemerintah melestarikan satwa liar. Melihat konflik ini merupakan ancaman nyata bagi satwa, sehingga menanggulangi permasalahan tersebut merupakan sebuah keniscayaan bagi WCS untuk memastikan gajah dan harimau bisa punya masa depan di lansekap yang semakin lama didominasi manusia.

"Kalo itu bisa kita lakukan tentunya nasib harimau dan gajah yang dikhawatirkan terus menyusut bisa dibalik kecenderungannya dari negatif dan positif," Katanya.

Baca juga: Konflik dengan manusia ancaman untuk komodo di Flores
Baca juga: Pemahaman penanganan konflik satwa liar disosialisasikan kepada kades


Sementara itu, Gubernur Lampung  Arinal Djunaidi dalam sambutannya yang disampaikan Plt Kadis Kehutanan Provinsi Lampung, Wiyogo Supriyanto mengatakan bahwa konflik antara manusia dan satwa liar merupakan kompleks karena bukan hanya berhubungan dengan keselamatan manusia tetapi juga hewan dalam kawasan.

"Kami akan terus mendukung dan mendorong pihak terkait agar lebih bijaksana dalam memahami, penanganan dan pencegahan konflik ini agar lebih optimal berdasarkan akar masalahnya," kata dia.

Menurutnya, konflik yang terjadi di daerah perbatasan TNBBS akibat dari beberapa faktor seperti peralihan lahan yang menjadi kebun dan pemukiman warga maupun eksploitasi berlebihan terhadap sumber pakan satwa liar di alam yang mengganggu habitat asli mereka sehingga memaksa hewan-hewan tersebut mencari makan di luar kawasan.

Pemerintah provinsi pun telah melakukan upaya dalam konflik ini seperti pembentukan tim satgas penanggulangan yang beranggotakan dari unsur, pemerintah pusat, DPRD, Provinsi Lampung, OPD terkait, TNI/Polri, akademis dan LSM serta BUMN.

"Tim ini bertugas melakukan koordinasi lintas sektoral, dalam upaya penanggulangan konflik ini dan juga kontribusi pemerintah kabupaten yang memiliki daerah yang berbatasan dengan kawasan konservasi memiliki arti penting dalam upaya menyelesaikan masalah yang kerap terjadi di setiap wilayahnya," katanya.

Baca juga: Sepasang harimau muncul di jalan Aceh Selatan
Baca juga: Harimau liar masuk ke desa di Indragiri Hilir


Pewarta: Dian Hadiyatna
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019