Jakarta (ANTARA) - Wakil Tetap/Duta Besar Uni Eropa (EU) di Jenewa telah mengirimkan surat kepada Wakil Tetap/Dubes RI di Jenewa yang secara resmi menyampaikan bahwa EU akan mengajukan sengketa terkait produksi besi Indonesia, termasuk pembatasan ekspor bijih nikel, ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dalam surat yang dikirimkan pada 22 November 2019 itu, EU juga menyampaikan permintaan melakukan konsultasi. Konsultasi merupakan langkah awal dalam suatu proses penyelesaian sengketa WTO.
Merespons surat tersebut, Dubes RI untuk PBB, WTO, dan Organisasi Internasional lainnya di Jenewa Hasan Kleib menjelaskan bahwa Indonesia harus menjawab surat EU dalam waktu 10 hari yang isinya bersedia atau tidak bersedia melakukan konsultasi.
"Apabila bersedia, konsultasi harus dilakukan dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya surat tersebut, atau waktu lain sesuai kesepakatan," kata Dubes Hasan melalui pesan singkatnya, Rabu.
Baca juga: Desember, UE umumkan pengenaan final bea masuk biodiesel Indonesia
Apabila Indonesia tidak bersedia untuk konsultasi, kata dia, maka EU berhak langsung meminta pembentukan panel sengketa WTO.
Lebih lanjut Dubes Hasan menjelaskan bahwa kebijakan Indonesia yang disengketakan oleh EU mencakup pembatasan ekspor untuk produk mineral (khususnya nikel, bijih besi, kromium) yang digunakan sebagai bahan baku industri stainless steel EU; insentif fiskal terhadap beberapa perusahaan baru atau yang melakukan pembaruan pabrik; serta skema bebas pajak terhadap perusahaan yang memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
EU mengklaim kebijakan tersebut melanggar Pasal XI.1 GATT mengenai larangan pembatasan ekspor dan impor; Pasal 3.1(b) Agreement on Subsidy and Countervailing Measures mengenai subsidi yang dilarang; dan Pasal X.1 GATT mengenai pelanggaran kewajiban transparansi peraturan.
Komisi Eropa, yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan di EU yang beranggotakan 28 negara, mengatakan pembatasan itu secara tidak adil membatasi akses produsen UE terhadap bijih nikel khususnya, serta untuk batu bara, bijih besi, dan kromium.
Baca juga: Tolak diskriminasi sawit, Indonesia minta itikad baik EU
Komisi Eropa menyebut bahwa langkah-langkah tersebut adalah bagian dari rencana untuk mengembangkan industri baja nirkarat Indonesia, yang merupakan produsen bijih nikel terbesar dunia.
Indonesia telah menjadi eksportir baja nirkarat terbesar kedua dan pangsa pasar EU meningkat dari hampir nol pada 2017 menjadi 18 persen pada kuartal kedua tahun ini, kata asosiasi baja Eropa, Eurofer, seperti dilaporkan Reuters.
Komisioner Perdagangan EU Cecilia Malmstrom juga mengatakan bahwa metode pembuatan yang digunakan di Indonesia menghasilkan karbondioksida hingga tujuh kali lebih banyak daripada proses yang digunakan di Eropa.
Di lain pihak, Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar menilai aduan EU mengenai pembatasan ekspor bijih nikel Indonesia sebagai "salah sasaran", karena salah satu pertimbangan Indonesia dalam mengambil kebijakan tersebut yakni untuk menjaga lingkungan hidup.
Mahendra juga menambahkan bahwa dalam konteks perdagangan internasional, pembatasan ekspor demi menjaga lingkungan hidup dibenarkan dilakukan oleh negara berkembang.
"Kita lakukan (kebijakan) ini berdasarkan pertimbangan untuk menjaga lingkungan hidup. Lalu juga memperkuat bagaimana pemanfaatan tadi memberikan nilai tambah terhadap produk itu sendiri," kata Wamenlu.
Pemerintah RI menetapkan larangan ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020, atau dua tahun lebih cepat dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang memperbolehkan ekspor komoditas tambang tersebut hingga 2022.
Baca juga: EU optimistis Indonesia akan tingkatkan penanggulangan perubahan iklim
Alasan pemerintah mempercepat pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel, pertama, karena cadangan nikel nasional yang diekspor sudah sangat besar. Tercatat cadangan bijih nikel yang bisa ditambang di Indonesia hanya tinggal 700 juta ton dan diperkirakan bisa bertahan 7-8 tahun ke depan.
Pertimbangan kedua adalah perkembangan teknologi yang sudah maju, sehingga Indonesia bisa memproses bijih nikel dengan kadar rendah, yang bisa dimanfaatkan pula sebagai bahan baku baterai lithium kendaraan listrik.
Sementara pertimbangan ketiga adalah smelter yang sudah mencukupi untuk mengolah bijih nikel menjadi feronikel. Saat ini terdapat 11 smelter pengolahan nikel yang sudah beroperasi di Indonesia, serta 25 smelter lain yang masih dibangun.
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019