Jakarta (ANTARA News) - Langit cerah di atas Belitung, ruang kelas berdinding papan yang hampir roboh, dan pohon-pohon tua di depan SD Muhammadiyah Gantong menjadi saksi bisu semangat tak terpatahkan anak-anak Laskar Pelangi, Ibu Muslimah, dan Pak Harfan dalam menyongsong tahun ajaran baru. Kisah anak-anak Belitung tersebut lahir dari novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang kini difilmkan oleh sutradara Riri Riza (dengan judul sama, red) di bawah bendera Miles Films dan Mizan Production. Film "Laskar Pelangi" merupakan sebuah adaptasi sinema yang mengambil waktu di akhir tahun 1970an. Film ini dipenuhi kisah masyarakat pinggiran, perjuangan hidup menggapai mimpi yang mengharukan, serta persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia, Belitung. Kisah film ini diawali dengan hari pertama pembukaan kelas baru di SD Muhammadiyah. Hari itu sangat mendebarkan bagi sembilan murid baru, dan dua guru yang memiliki semangat mengajar luar biasa, Harfan (Ikranagara) dan Muslimah (Cut Mini). Perasaan gelisah dan cemas melingkupi karena mereka masih menunggu satu murid lagi untuk menggenapkan sembilan murid yang sudah ada. Di tengah kecemasan muncul Harun, seorang murid istimewa menyelamatkan mereka dan kesepuluh murid itupun akhirnya bisa bersekolah. Muslimah, guru yang rela mengajar dengan gaji tak menentu ini memberi nama murid-muridnya Laskar Pelangi. Laskar Pelangi adalah Ikal (Zulfanny), Mahar (Verry S Yamarno), Lintang (Ferdian), Kucai (Yogi Nugraha), Syahdan (M Syukur Ramadan), A Kiong (Suhendri), Borek (Febriansyah), Harun (Jeffry Yanuar), Trapani (Suharyadi Syah Ramadhan), dan Sahara (Dewi Ratih Ayu Safitri). Masing-masing anak yang memiliki keunikan dan keistimewaan ini berjuang untuk terus bisa sekolah. Di tengah tantangan berat dan tekanan untuk menyerah, Ikal, Mahar, dan Lintang dengan bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah mereka. Tantangan Berat Film ini dibuat berdasarkan sebuah novel yang memiliki banyak pembaca setia. Seperti halnya kebanyakan film yang diadaptasi dari novel, kisah "Laskar Pelangi" yang kemudian dibuat versi layar lebar ini sejak awal menjadi perbincangan antara pro dan kontra. Sebagian besar pembaca setia novelnya menolak dan memprotes rencana pembuatan film ini karena khawatir hasilnya tak seindah cerita di dalam buku. Kalaupun pecinta novel itu merasa sangat khawatir kisah mengharukan dan luar biasa tidak terangkat ke layar lebar, Riri Riza sudah berusaha keras menyampaikan pesan moral dari novelnya. Melalui jalinan cerita, penokohan, dan juga suasana pada masa berlatar belakang tahun 1970an itu Riri Riza membangun kisah Laskar Pelangi yang amat menyentuh. Ia paparkan ironi tentang pendidikan di Indonesia lewat kisah pilu Lintang yang putus sekolah, kemauan keras Ikal untuk mengejar mimpi, dan semangat Muslimah mendapatkan murid di tengah ancaman sekolah yang akan ditutup. Pemerataan pendidikan untuk anak-anak di daerah pesisir dan pembangunan yang berkeadilan hingga jauh ke pelosok desa adalah sebagian pesan yang tersampaikan secara gamblang. Di sisi lain, kehadiran tokoh Harfan dan Muslimah seolah sindiran pada para pemimpin dan politisi negeri ini. Para pemimpin yang seharusnya lebih banyak memberi dari pada menerima, yang lebih banyak menolong rakyat, bukan justru menggerogoti uang rakyat dengan cara korupsi. Nilai-nilai seperti gotong royong dan kebersamaan yang dilakukan Zulkarnaen (Slamet Rahardjo) dan masyarakat Belitong membantu SD Muhammadiyah juga menjadi contoh positif untuk tipikal masyarakat zaman sekarang yang kerap mementingkan diri sendiri dan bersaing satu sama lain. Lebih jauh lagi, lewat tokoh Ikal, Lintang, dan Mahar, film Laskar Pelangi memberi inspirasi, mengajarkan tentang semangat pantang menyerah, kesetiaan, persahabatan, dan cinta yang universal. Pendek kata, sang sutradara menyajikan film ini dengan cara yang membentangkan cakrawala bahwa harapan masih ada sepanjang kita terus bertekad mencapainya. Dari sisi gambar, film ini juga memberi warna baru sinema Indonesia pada tahun ini dengan diangkatnya Belitung sebagai sebuah pulau di Indonesia yang sangat indah. Pemandangan alam dan laut Belitung yang asri cukup menyegarkan mata penonton yang selama ini sering dijejali sinema berlokasi di kawasan Jakarta dan Bandung dengan gedung-gedung pencakar langit dan kehidupan mewah. Medium Berbeda Novel dan film adalah dua medium yang berbeda, sekaligus memiliki ciri khas masing-masing. Novel memberi kebebasan pembacanya untuk berimajinasi. Sementara dalam film imajinasi itu dibatasi oleh durasi waktu dan skenario film yang tentu saja tidak bisa disamakan dengan seluruh jalan cerita dalam novel. Dalam novelnya, ada banyak kisah yang saling terkait satu sama lain yang dituliskan Andrea Hirata, sehingga memindahkan cerita setebal 529 halaman mamang bukan hal yang mudah. Andrea menuliskan detail-detail kejadian yang saling berkaitan yang tampaknya membuat penulis naskah, Salman Aristo kesulitan untuk memindahkannya ke medium film. Dalam filmnya, terlihat sekali sang sutradara dan penulis naskah ingin memasukkan semua detail cerita dalam novel. Hasilnya adalah cuplikan-cuplikan cerita dalam novel yang semuanya dijejalkan dalam film. Misalnya adegan Flo (Marchella El Jolla Kondo) yang tiba-tiba menghilang dan ditemukan di sebuah rawa-rawa atau kisah anggota Laskar Pelangi lainnya yang belum digali lebih dalam. Bagi penonton yang sudah membaca novelnya, mungkin menyaksikan film ini tidak terlalu kesulitan. Tapi bagi penonton yang belum membaca novelnya akan kesulitan karena ada bagian-bagian yang hilang atau bahkan bagian yang berdiri sendiri dan tidak sejalan dengan cerita di adegan sebelumnya. Dengan kata lain, menyaksikan filmnya akan lebih "enak" bagi para pembaca novelnya karena detail cerita yang hilang dapat dilengkapi dari ingatan tentang cerita dalam novel. Secara keseluruhan, film ini mewarnai dunia perfilman Indonesia setahun terakhir yang dipenuhi cerita-cerita cinta dan hantu. "Laskar Pelangi" dapat menjadi sebuah tontonan yang berkesan bagi penotnon lewat pesan-pesan moralnya tersampaikan dengan baik. Lebih dari itu, semangat pantang menyerah anak-anak dan guru di SD Muhammadiyah Gantong diharapkan dapat menginspirasi penonton ditengah kehidupan nyata yang penuh beban persoalan. Senyum dan warna-warni pelangi di wajah anak-anak Belitung itu memberi secercah harapan akan datangnya masa depan lebih cerah apabila seseorang mau berusaha dan berdoa.(*)

Oleh Oleh Desy Saputra
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008