bahwa sekolah bukan tempat untuk berhasil, melainkan tempat untuk “gagal!”
Jakarta (ANTARA) - Hari Guru Nasional 2019 baru saja berlalu. Belum ada perayaan besar menandainya, namun pesan dari Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang kali ini justru menyita perhatian publik. 

Isi pidato yang disebarnya melalui media sosial beberapa hari menjelang puncak peringatan Hari Guru dinilai begitu singkat, namun mengena ke inti persoalan bagi pendidik bangsa. Guru belum “merdeka”.

Setidaknya, Nadiem menggarisbawahi soal besarnya porsi pekerjaan administratif ketimbang waktu bercengkerama guru dengan muridnya. Setidaknya pendiri Gojek ini menyebutkan soal petualangan murid di luar ruang kelas untuk berkarya dan berkolaborasi terbatas oleh kurikulum dan mengejar nilai.

Pada 29 September lalu, isu kemerdekaan guru ini juga dibahas dalam sebuah seminar bertema "Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia" yang digelar di Yayasan Lazuardi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam seminar yang sekaligus peluncuran buku berjudul sama karya Haidar Bagir yang merupakan Ketua Yayasan Lazuardi sejumlah guru yang hadir berkeluh kesah perihal sulitnya mereka mencari waktu untuk setidaknya menambah ilmu karena beban administrasi di hari kerja.

Praktis hanya di Hari Sabtu atau Minggu, untuk guru di DKI Jakarta dan beberapa daerah lain,  bisa menambah ilmu bahkan hanya untuk sekedar mengikuti seminar. Padahal mereka juga sadar, tuntutan menjadi guru di era revolusi industri 4.0 atau digital sekarang begitu besar.

Haidar Bagir lalu menceritakan pengalamannya untuk mengomentari keresahan guru-guru tersebut. Saat yayasannya hendak menerima guru mengajar di sekolah-sekolah Lazuardi hal yang ditanyakan adalah bagaimana keinginan guru-guru itu untuk “merdeka”.

Dan ia mengatakan jika memang mereka ingin menjadi guru yang “merdeka” maka harus siap untuk lebih banyak tidak mengikuti kebijakan pemerintah melalui  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).

Pandangan-pandangan seorang Haidar Bagir terkait bagaimana sekolah di Indonesia semestinya, bagaimana manusia-manusia Indonesia disiapkan, sedikit banyak tertuang dalam buku Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia.

Baca juga: Hari guru, Mendikbud: Dua poin penting, guru merdeka dan penggerak
 

Tampilan Buku

Buku tersebut memiliki sampul yang dominan berwarna abu-abu, dan secara jelas ditujukan untuk pendidik atau guru, orang tua, dan juga pengambil keputusan.

Tepat di bawah judul tertulis pula kalimat Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita.

Buku setebal 212 halaman tersebut menampilkan ilustrasi pohon berbentuk kepala manusia yang mayoritas merupakan ranting kering, dengan latar belakang langit mendung dan tetesan air hujan di kaca. Namun di bagian wajahnya, terlihat hijau dipenuhi daun dengan latar belakang langit cerah.

Pada bagian dalam buku yang memiliki panjang 20,5 sentimeter (cm) itu, tidak ditemukan foto apapun kecuali foto penulis menjelang halaman akhir. Kalimat yang digunakan mudah dipahami, ukuran huruf pun cukup besar sehingga nyaman untuk dibaca.

Penulis membagi isi buku dalam tiga bagian. Pertama, membahas tentang falsafah pendidikan, sedangkan di bagian kedua menekankan soal konsep dan metode pendidikan. Sementara di bagian ketiga, membahas tentang falsafah pendidikan Islam.

Buku Memulihkan Sekolah Memulihkan manusia terbit di Bandung pada 1 September 2019 oleh Penerbit PT Mizan Pustaka. Buku yang disunting Azam Bahtiar ini memiliki nomor ISBN 978-602-440-135-0.

Baca juga: Mendikbud minta Google prioritaskan Indonesia untuk digitalisasi

 

Review

Buku tersebut terbagi tiga bagian, dibuka dengan catatan sepanjang sekitar lima halaman tentang mimpi-mimpi penulis soal kehidupan manusia yang mendiami Bumi.

Dirinya memiliki mimpi bahwa suatu saat nanti orang melihat kehidupan bukan sebagai gelanggang pertarungan memojokkan dan menyingkirkan orang lain demi menguasai semua sarana pemuas syahwat untuk diri sendiri. Entah itu syahwat harta, syahwat kekuasaan, syahwat politik dan syahwat-syahwat lainnya.

Ia juga memimpikan suatu saat orang percaya bahwa kebahagiaan terletak dalam hidup sebagai manusia biasa, yang lahir keluarbiasaannya justru karena dia hidup sebagai manusia biasa.

Catatan itu begitu kuat, menohok bagi mereka yang di dalam masa hidupnya hingga sekarang masih terjebak dengan syahwat duniawi yang disebutkan sebelumnya.

 Itu menjadi dasar bagaimana Haidar Bagir bersama istrinya menciptakan sekolah yang mampu memunculkan manusia-manusia yang kreativitasnya mencuat ke mana-mana karena rehatnya pikiran, jiwa dan sukmanya.

Pada bagian I, isi buku berbicara tentang falsafah pendidikan. Penulis bertanya apa sebenarnya tujuan sistem pendidikan di Indonesia, apakah memanusiakan?

Pendidikan manusia dan artificial intelligence dikupas di sana, termasuk juga soal multiple intelligences sebagai paradigma baru dalam pendidikan. Namun demikian, manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya tentu juga perlu menyeimbangkan antara IQ, EQ dan SQ.

Penulis tidak lupa membahas problem pendidikan karakter dalam kurikulum yang saat ini digunakan, sebelum beralih ke bagian II, yang menjabarkan soal konsep dan metode pendidikan.

Pada akhir bagian II buku tersebut membahas persoalan ujian negara, apakah efektif membuat siswa bekerja keras? Apakah ujian nasional sukses meningkatkan prestasi murid, atau sebaliknya justru membuka celah manipulasi nilai?

Namun sebelum ke sana, penulis jebolan S3 Jurusan Filsafat Universitas Indonesia dengan riset selama setahun di Departemen Sejarah dan Filsafat Sains, Indiana University, Bloomington, Amerika Serikat itu menegaskan bahwa sekolah bukan tempat untuk berhasil, melainkan tempat untuk “gagal!”

Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) kelahiran 62 tahun itu menyebut sekolah yang terlanjur “diartikan” sebagai bengkel atau tempat magang bagi dunia kerja, dan menilai murid dengan cara orang menilai karyawan atau calon karyawan di dunia kerja, hanya tempat para pendidik memisah-misahkan murid yang “baik” dari mereka yang “kurang atau tidak baik”.

Baca juga: Mendikbud ajak guru lakukan perubahan
 

Mediumnya? Berbagai tes yang malah mencirikan kekurangan-kekurangan anak.

Pada bagian III atau bagian akhir, penulis menyertakan falsafah pendidikan Islam. Bagaimana perspektif Islam tentang pendidikan, lalu beda Tarbiyyah dan Ta’dîb dijelaskan dalam buku tersebut.

Bagian III ditutup dengan bahasan tentang orientasi akhlak (budi pekerti atau karakter) dalam pendidikan agama.

Pendidikan memiliki nilai strategis untuk memecahkan semua masalah di negeri ini. Jika dirunut ke belakang, masalah rendahnya moral, akhlak, perilaku dan etos kerja masyarakat, tak lain dan tak bukan karena mutu pendidikan yang memang rendah.

Jika boleh memilih, Haidar Bagir lebih senang memilih model sekolah yang anak-anaknya bebas memilih apa yang mau dipelajari. Paling banter sekolah membantu siswa untuk memastikan apa yang mau mereka pelajari.

Kalaupun ada mata pelajaran yang dipilihkan oleh sekolah, maka itu hanya sebatas ilmu-ilmu dasar yang setiap orang harus menguasai. Bahasa, matematika, sains kealaman, sains sosial semua dikuasai tidak lebih jauh dari sekedar minimal.

Setiap anak memiliki Individualized Educational Program (IEP) sendiri-sendiri. Setiap manusia itu unik, dia punya minat, jenis kecerdasan dan keterbatasan yang berbeda-beda, sehingga dengan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memilih kurikulum sendiri, maka besar kemungkinan mereka bisa menjadi versi terbaik dari diri mereka.


Baca juga: PGRI : Guru harus dilihat komprehensif bukan sekedar dipidatokan

Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019