"Kami sudah menduga ini akan terjadi, karena MK memajukan jadwal sidang," ujar kuasa hukum 190 mahasiswa dan masyarakat umum yang mengajukan permohonan itu, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, usai sidang pengucapan putusan, di Gedung Mahkamah Konstit
Jakarta (ANTARA) - Pemohon uji materi terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) sudah memperkirakan permohonannya tidak diterima Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran nomor undang-undang yang dicantumkan keliru.

"Kami sudah menduga ini akan terjadi, karena MK memajukan jadwal sidang," ujar kuasa hukum 190 mahasiswa dan masyarakat umum yang mengajukan permohonan itu, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, usai sidang pengucapan putusan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis.

Zico menyebut awalnya perbaikan permohonan dijadwalkan hingga 23 Oktober Oktober 2019, sehingga ia dapat mencantumkan nomor undang-undang yang benar untuk revisi UU KPK.

Namun, menurut dia, sidang pertama dimajukan menjadi digelar pada 30 September 2019, sehingga batas perbaikan dua pekan setelah sidang, yakni 14 Oktober 2019.

Sedangkan revisi UU KPK resmi dicatat ke lembaran negara sebagai UU Nomor 19 Tahun 2019 pada 17 Oktober 2019.

"Padahal MK yang memajukan, MK yang tidak mau menerima. Padahal kami sudah ada bukti itu kesepakatan. Di surat panggilan kami, masih ditulis putusan untuk UU Nomor 19 Tahun 2019," ujar Zico.
Baca juga: UU KPK, Hamdan Zoelva menilai uji MK sebagai langkah tepat

Dengan perkiraan tidak akan diterima, Zico pun telah mengajukan surat pencabutan perkara pada 19 November 2019. Untuk itu, ia heran lantaran perkara itu tetap diputus meski telah dicabut.

"Kami ajukan permohonan tanggal 19 November, tanggal 20 November kami menerima surat panggilan untuk putusan hari ini. Ini menimbulkan pertanyaan bagi kami," kata dia.

Permohonan uji materi terhadap revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang diajukan 190 mahasiswa dari berbagai universitas serta masyarakat umum itu tidak diterima Mahkamah Konstitusi karena salah objek.

Pemohon mencantumkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dalam permohonan sebagai Undang-Undang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, padahal tidak benar.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019