Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai tersangka penerima gratifikasi terkait pendaftaran tanah, salah satunya terkait penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) untuk sejumlah perkebunan sawit di Kalimantan Barat.

"Setelah mencermati fakta-fakta yang berkembang dalam proses penyelidikan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dugaan penerimaan gratifiaksi oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya," ucap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

KPK, kata Syarif, meningkatkan status perkara dugaan penerimaan gratifikasi oleh pejabat BPN terhitung 4 Oktober 2019, dengan dua orang tersangka, yaitu
Kepala Kantor Wilayah BPN Kalimantan Barat (2012-2016) dan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur (2016-2018) Gusmin Tuarita (GTU) dan Kabid Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah kantor BPN Wilayah Kalimantan Barat Siswidodo (SWD).

Dua tersangka itu disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Baca juga: Kejagung belum tahan Priyono, tersangka gratifikasi BPN

Diketahui, pada 2013-2018, tersangka Gusmin diduga menerima sejumlah uang dari para pemohon hak atas tanah termasuk pemohon HGU baik secara langsung dari pemohon hak atas tanah ataupun melalui tersangka Siswidodo.

"Dalam proses tersebut, tersangka SWD kemudian diduga memberikan uang secara tunai kepada tersangka GTU di kantor ataupun di rumah dinas," ungkap Syarif.

Atas penerimaan uang tersebut, ucap dia, tersangka Gusmin telah menyetorkan sendiri maupun melalui orang lain sejumlah uang tunai dengan total sebesar Rp22,23 miliar.

"Uang tersebut disetorkan ke beberapa rekening miliknya pribadi, rekening milik istrinya, rekening milik anak-anaknya," ujar Syarif.

Syarif menyatakan bahwa praktik penerimaan gratifikasi ini sangat memprihatinkan karena mestinya para pejabat negara di BPN melayani masyarakat, baik perorangan ataupun perusahaan terkait pertanahan.

Namun dalam kasus tersebut, para pejabat tersebut diduga menguntungkan diri sendiri dan menyalahgunakan kewenangannya.

Hal tersebut, kata Syarif, tentu dapat saja mendorong praktik ekonomi biaya tinggi dan juga tidak tertutup kemungkinan menjadi faktor penghambat investasi.

"Terutama bagi pelaku usaha yang ingin mendirikan usaha perkebunan atau pertanian dan sejenisnya harus mengeluarkan biaya ilegal dan prosesnya dipersulit," ujar Syarif.
 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019