Jakarta (ANTARA) - Menjelang Pemilihan Kepala Daerah 2020, banyak partai politik peserta pemilihan umum yang gencar mengumpulkan dana untuk keperluan pesta demokrasi tersebut.

Kendati diawasi dalam pengumpulan dana, ada saja oknum yang mengambil celah memanfaatkan kekurangan dana partai politik untuk meraih dukungan menjadi kepala daerah.

Memang negara telah mengatur keuangan partai politik, Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 mengatur tentang sumber-sumber keuangan partai politik.

Sumber keuangan parpol yang pertama adalah iuran anggota parpol bersangkutan, dalam UU tersebut tidak diatur besaran sumbangan anggota kepada partai.

Kedua adalah sumbangan yang sah menurut hukum. Dalam pasal 35 Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 mengatur tentang sumbangan tersebut.

Sumbangan perseorangan anggota parpol pelaksanaannya diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART).

Baca juga: Pemerintah bicara substansi soal dana bantuan partai politik

Kemudian, sumbangan perseorangan bukan anggota parpol paling banyak senilai Rp 1 miliar per orang dalam waktu satu tahun anggaran, dan terakhir adalah sumbangan perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp 7,5 miliar per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu satu tahun anggaran.

Lalu yang ketiga adalah bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Bantuan dari APBN/APBD diberikan secara proporsional kepada parpol yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dengan didasarkan pada jumlah perolehan suara. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah pernah menaikkan anggaran bantuan dana partai politik yang bersumber dari APBN melalui PP Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik.

Dari awalnya Rp 108 per suara menjadi Rp 1.000 per suara untuk tingkat DPR. Kemudian untuk tingkat DPRD dan pemerintah kota/kabupaten menjadi Rp 1.500 per suara.

Dengan kenaikan itu, dana bantuan untuk partai politik melejit, dari sebelumnya Rp 13,5 miliar dalam setahun untuk partai-partai peserta pemilu menjadi Rp 111 miliar.

Baca juga: Kapuspen Kemendagri singgung dana operasional DPP Parpol di Slipi

Meskipun ada alokasi negara untuk partai politik sesuai undang-undang di atas, seiring dengan banyaknya agenda partai yang memerlukan dana besar, maka banyak elit partai yang berlomba-lomba untuk mencari sumber-sumber keuangan lain, dan yang sangat potensial untuk diperoleh yaitu sumber keuangan dari negara dengan pola-pola licik. Uang negara dipandang sebagai sumber uang tambahan yang sangat potensial.

Usai rapat dengan Komisi II DPR RI, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berkata jika setiap calon kepala daerah butuh sekitar Rp30 miliar untuk maju pilkada. Sementara total gaji yang diterima selama lima tahun hanya Rp12 miliar.

Pada akhirnya, Tito mempertanyakan apakah sistem pilkada langsung seperti sekarang harus dibiarkan? Pasalnya, kepala daerah yang terjaring Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi pun tak sedikit.

"Kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun? Kita lihat mudaratnya ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," kata Tito di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/11).

Sejumlah tokoh politik nasional salah satunya Setya Novanto pada Juli 2016 lalu pernah mengeluarkan pernyataan perlunya pembiayaan partai politik peserta pemilu berasal dari negara atau dicantumkan dalam APBN.

Mantan Ketua Umum Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Nusa Dua, Bali, Mei 2016 itu mengungkap jika dana parpol menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses demokrasi. Namun, partai tidak akan mampu menjalankan fungsinya dengan maksimal tanpa didukung pendanaan yang baik.

Baca juga: Tiga Parpol di Madiun belum serahkan LPPDK ke KPU

"Dan ini sangat signifikan karena kalau kita lihat biaya-biaya operasional partai sangat besar, sebulan kami bisa habis Rp5 miliar, Rp8 miliar, sampai Rp10 miliar," ujar Setya dalam acara diskusi tentang pendanaan politik, di Kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jakarta Selatan, Senin (25/7/2016).

Namun yang bersangkutan akhirnya terciduk KPK akibat sangkaan korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). Dan Tito, Kamis (28/11) kemarin sempat menceritakan betapa trauma jajaran Kementerian Dalam Negeri, terutama Dukcapil dan Kesekjenan dengan kasus e-KTP itu.

Tak boleh bertahan

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar mengatakan Indonesia tidak boleh bertahan terus seperti sekarang mengingat sebaik apapun sistem pemilu yang dibuat jika di sektor hulu perpolitikan, pendanaan partai politik tidak diatur sedemikian rupa, maka karakter pemimpin yang dihasilkan tidak akan pernah baik.

Pemberitaan di media massa banyak memuat kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi, dari kasus hambalang, impor daging sapi, e-KTP dan lain sebagainya. Kasus-kasus tersebut mungkin ada kaitannya dengan biaya operasional partai yang luar biasa besar.

Belum lagi anggaran untuk menjalankan fungsi parpol sesuai yang diatur dalam UU Partai Politik yaitu fungsi kaderisasi dan pendidikan politik.

Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada undang-undang nomor 2 tahun 2011 pasal 34 ayat 3 poin a berkaitan dengan kegiatan pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik dan pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan.

Baca juga: KPU Maybrat : Hasil audit dana kampanye sudah diserahkan kepada parpol

Gagasan menaikkan pembiayaan itu penting dikaji, diantaranya untuk mengurangi angka korupsi politik yang masih marak terjadi, meningkatkan kemampuan partai politik dalam menciptakan kehidupan yang demokratis.

Dana parpol dari negara bisa menjadikan partai politik fokus mencetak kader-kader yang berkualitas tanpa dibebani untuk mencari dana demi kepentingan partai.

Saat ini, alokasi dana parpol Indonesia dinilai sangat rendah, sekitar 0,00056 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Padahal di negara demokrasi yang maju pembiayaan parpol bisa 30-100 persen berasal dari negara.

Namun yang patut diperhatikan, sejauh mana gagasan tersebut menimbulkan transparansi keuangan parpol agar akuntabel, dengan begitu praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh kader-kader partai bisa dikurangi.

Itu sebabnya, menaikkan anggaran dana bantuan partai politik mesti disokong dengan pengecekan secara komprehensif, agar kemana saja Anggaran Pendapatan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan Belanja Daerah itu dibelanjakan parpol bisa terlacak dengan sehat.

Dana bantuan tersebut didiskusikan akan kembali dinaikkan di tahun depan. Usulan dari Direktorat Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan ditingkatkan minimal 48 kali lipat menjadi Rp 48.000 per suara atau angkanya melihat jumlah partai politik sekarang mencapai Rp 6 triliun.

Sementara, Kemendagri dari kajian kenaikan dana partai politik tiga tahun lalu merekomendasikan dana untuk parpol sebesar Rp 5.400 per suara.

"Kadang kita juga harus realistis, keuangan negara ada enggak untuk seperti itu? Kan bukan hanya membiayai ini, juga negara harus bayar soal kesehatan, dan soal yang lain," ujar Kapuspen Kemendagri Bahtiar.

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyarankan Kementerian Dalam Negeri untuk mereformasi partai politik terlebih dahulu terkait masalah politik berbiaya mahal tersebut.

"Pembenahan partai menjadi prasyarat utama sebelum mengubah model Pilkada," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. 

Tanpa pembenahan partai, menurut Kurnia, tidak akan pernah menyelesaikan persoalan politik yang berbiaya mahal tersebut.

Pilkada berbiaya mahal bukan hanya disebabkan politik uang terhadap pemilih saja, tetapi persoalan lain yaitu jual beli pencalonan atau mahar politik, hal itu malah yang menjadi salah satu masalah utama.

Sebenarnya, inisiatif pembenahan partai secara kolektif, kata dia, sudah sering didorong oleh KPK dan masyarakat sipil.

KPK bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 2016 hingga 2018 telah melakukan inisiasi perbaikan partai politik yang menghasilkan rekomendasi agar partai politik mengimplementasikan dengan baik SIPP terdiri dari kode etik, sistem rekrutmen, kaderisasi, pendanaan, dan demokrasi internal.

Hal itu dipandang sebagai ikhtiar yang terus-menerus bagi KPK untuk melakukan pencegahan korupsi di sektor politik. “Kami meyakini, tidak boleh dibiarkan ratusan politisi di DPR, DPD, DPRD dan kepala daerah terus menerus jatuh dalam perangkap korupsi sehingga dibutuhkan upaya serius melakukan pembenahan di sektor politik," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

KPK juga menggelar pertemuan dengan Dirjen Anggaran di Kementerian Keuangan untuk membahas sejumlah hal. Khususnya keberlanjutan pendanaan partai politik termasuk sisi akuntabilitas penggunaan dan keterbukaan pada publik.

Sedangkan pertemuan dengan Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri difokuskan pada aspek substansi penyempurnaan UU Parpol dan evaluasi efektivitas bantuan keuangan oleh negara pada parpol tahun 2018.

Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019