Kami menolak TIM dijadikan pusat bisnis
Jakarta (ANTARA) - Seniman-seniman di Taman Ismail Marzuki terus menyampaikan ekspresi penolakan terkait dengan rencana komersialisasi kawasan itu oleh PT Jakarta Propertindo.

"Kami menolak TIM dijadikan pusat bisnis," kata Budi salah seorang seniman teater di Jakarta, Sabtu.

Budi mengatakan TIM seharusnya dibangun menjadi pusat seni, bukan sebagai tempat bisnis seperti adanya hotel bintang lima.

Baca juga: Komisi B DPRD DKI tunggu desain baru revitalisasi TIM

Budi juga mengatakan para seniman menolak TIM menjadi milik Jakpro (Jakarta Propertindo). Menurutnya TIM harusnya bukan milik siapa pun, tapi milik bersama.

"Kemarin sudah ada pertemuan dengan pihak Jakpro tapi kami masih sama, menolak dibangunnya hotel bintang lima dan menjadikan TIM sebagai tempat berbisnis," ucap Budi menambahkan.

Baca juga: Jakpro siap kembalikan PMD jika pengelola revitalisasi TIM diganti

Menurut Budi daripada hotel bintang lima sebaiknya dibangun lebih banyak fasilitas untuk para seniman. Seperti ruang pameran yang layak.

Budi menegaskan bahwa para seniman tidak menolak adanya pembangunan TIM, asalkan TIM menjadi pusat seni yang memenuhi syarat.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Andri, seorang seniman yang juga ikut hadir dalam aksi aspirasi menolak pembangunan hotel ini.

"Saya rasa semua seniman disini dengan tujuan yang sama, keberatan dengan adanya pembangunan hotel," ujar Andri saat diwawancara di Cikini.

Baca juga: Jakpro: Revitalisasi TIM jadi Rp 1,6 triliun imbas penghilangan hotel

Dia mengatakan hotel sudah banyak di kawasan Cikini sehingga tidak perlu lagi adanya hotel di TIM.

Sebaliknya, pembangunan harusnya lebih mengarah kepada perbaikan fasilitas-fasilitas tempat seni. Dan juga membuat laboratorium seni untuk para seniman.

Baca juga: Jakpro sebut mungkin proyek berubah karena PMD dipotong Rp400 miliar

Baca juga: Jakpro disarankan berdiskusi ulang dengan para seniman TIM

Baca juga: Seniman sebut revitalisasi TIM dengan fasilitas hotel keliru

Pewarta: Ganet, Agus, dan Alya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019