... harus jelas standar dan acuannya...
Jakarta (ANTARA) - Paparan terhadap paham radikalisme bukan hanya menyasar kalangan mahasiswa di lingkungan kampus, namun juga pada kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), yang mana menjadi ujung tombak pelayanan publik.

Maka, tidak mengherankan apabila banyak ASN yang menjadi anggota organisasi yang berpaham anti Pancasila dan anti NKRI, di antaranya eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibubarkan pemerintah pada 2017 lalu.

Terpaparnya ASN dalam paham radikalisme jelas merupakan pengkhianatan sumpah dan janji ASN. Semua ASN di indonesia tergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), dan ketika diangkat sebagai calon ASN maupun pascadiklat prajabatan dilantik sebagai ASN, mereka diwajibkan menandatangani dan mengucap Sumpah Korpri.

ASN juga bersumpah senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat diatas kepentingan pribadi-golongan.

UU Nomor 5/2014 tentang ASN juga secara tegas mewajibkan ASN untuk setia pada ideologi negara yakni Pancasila dan pada konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) pun mengakui adanya ASN yang terpapar radikalisme.

Maka, untuk mengantisipasi penyebaran paham-paham radikalisme di tubuh ASN, pemerintah melalui sebelas Kementerian dan Lembaga Negara bersepakat menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme ASN dalam rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada ASN. SKB tersebut ditandatangani pada 12 November 2019 di Jakarta.

Selain Kemenpan-RB, SKB itu juga ditandatangani pimpinan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Badan Kepegawaian Negara, dan Komisi Aparatur Sipil Negara.

Dalam SKB sebelas kementerian dan lembaga negara itu mengatur bagaimana ASN menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan dalam format teks, gambar, audio, atau video, melalui media sosial tidak boleh bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.

ASN juga dilarang untuk menyampaikan pendapatnya melalui tulisan atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA).

ASN dilarang untuk penyebarluasan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost, dan sejenisnya).

Tanggapan atau dukungan sebagai tanda setuju pendapat di media sosial dengan memberikan atau meng-klik ikon likes, dislike, love, retweet, atau comment juga dilarang.

ASN juga dilarang menyebarluaskan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial.

Surat keputusan bersama itu juga mengatur larangan penyelenggaraan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.

Serta ASN dilarang untuk ikut berorganisasi dan atau kegiatan yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.

Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah serta melecehkan simbol negara, baik secara langsung maupun melalui media sosial juga dilarang.

Namun, surat keputusan bersama kementerian dan lembaga negara itu menuai pro dan kontra. Baik demi terkait menjaga ASN dari ideologi berseberangan dengan Pancasila, hingga kekhawatiran penyalahgunaan wewenang.

Sekjen Kementerian Agama, M Nur Kholis, di Jakarta, Sabtu (16/11) mengatakan, SKB itu mengatur bagaimana sinergitas kementerian/lembaga dalam rangka penanganan tindakan radikalisme ASN.

Berdasarkan SKB, dibentuk tim satuan tugas lintas K/L yang bertugas menerima laporan, menindaklanjuti, dan memberikan rekomendasi penanganan kepada pimpinan kementerian/lembaga terkait dengan tembusan ke Kemenpan RB, Kemendagri, BKN, dan Komisi ASN.

Tindakan radikalisme itu sendiri mencakup intoleransi, anti ideologi Pancasila, anti NKRI, dan perbuatan yang bisa menyebabkan disintegrasi bangsa.

Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Arie Budhiman, melihat keberadaan SKB 11 menteri dan lembaga merupakan hasil pemikiran bersama, bukan untuk mencederai ASN.

Ada empat perspektif dari lahirnya SKB 11 Menteri ini. Pertama adalah tentang platform ASN yang diatur dalam Undang-Undang terkait nilai dasar, kode etik, dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

"Memegang teguh ideologi Pancasila. Jadi ini final. Sehingga ASN harus loyal, punya komitmen tinggi memegang kode etik ini," jelas Arie dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (30/11).

Kedua, perspektif cara pandang preventif atau pencegahan. Latar belakang pencegahan itu haruslah bukan hal yang menjadikan reaksi berlebihan, melainkan sebagai bentuk kepedulian terhadap pertumbuhan radikalisme.

Kalau dilihat, setiap hari kita diserbu tsunami informasi radikalisme, di genggaman setiap ASN itu selalu ada. Mungkin bahkan ratusan ribu pesan-pesan. Kita menghadapi multi-sense, secara preventif memang harus dicegah, kata Arie.

Selain itu, KASN sesuai fungsinya berusaha melindungi 4,2 juta ASN di seluruh Indonesia. Dengan rentang skala yang luas itu, maka diperlukan instrumen pembantu perlindungan ASN dari paham radikalisme.

Keempat, KASN sebagai penjaga netralitas pemerintah dalam menghadapi problem yang berkaitan dengan ASN.

"Jadi SKB ini cara pandang rumah tangga kami itu menjadi instrumen preventif, mitigasi ideologi radikal dan juga merupakan respon pemerintah yang ingin menjaga ASN ini. Maka kita sampaikan tadi, ASN harus profesional. Lakukan pelayanan publik yang tidak hanya baik, tapi harus berintegritas," tegasnya.

Cegah Ujaran Kebencian
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila pun menilai diterbitkannya SKB enam menteri dan lima lembaga pemerintah terkait penanganan radikalisme agar ASN tidak terlibat terlalu jauh dalam penyebaran ujaran kebencian.

Pejabat di BPIP, Hariyono, mengatakan, kebencian yang ada di media sosial (medsos) itu tidak hanya berpengaruh di lingkungan luar dinas, namun juga sangat berpengaruh sampai lingkungan kerja, bahkan keluarga.

"Kalau dibiarkan ini bisa berbahaya. Birokrasi itu harus profesional, sehingga meritokrasi siapa yang memiliki prestasi itu yang harus dipromosikan, bukan karena kelompok saya, kelompok dia, atau keyakinan berbeda, itu tidak," ucapnya, di Jakarta, Kamis (28/11).

Pascaditerbitkannya SKB, nantinya seluruh ASN akan diawasi Satuan Tugas, termasuk dalam bermedsos di dunia maya. Pengawasan yang dilakukan juga mencakup adanya kemungkinan ASN yang melakukan ujaran kebencian.

Dengan adanya SKB kita punya payung hukum, kalau ada data ada bukti, kalau ada ASN, baik itu TNI, polri, maupun PNS, kalau ada yang mengadukan dan terbukti maka Tim Satgas akan mengecek dan lakukan verifikasi, kata Hariyono.

ASN yang melanggar ketentuan dalam SKB akan disesuaikan dengan tingkat kesalahannya. Kalau masih dalam batas yang wajar maka hanya cukup diajak berdialog dan diperingatkan.

"Kalau dalam batas-batas bisa diperingatkan, bisa dialog. Bisa kembali, ya kembali. Tapi kalau sampai yang bersangkutan sudah terlibat di dalam kegiatan teroris, maka akan langsung dipecat," tegasnya.

Tidak efektif
Pada sisi lain, SKB itu ternyata juga dinilai tidak efektif untuk menangkal penyebaran radikalisme. Bahkan, malah akan membuat masyarakat ingat tindakan represif masa lalu, yakni pada jaman Orde Baru.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, berpendapat SKB memiliki aturan yang cukup bias dan justru terkesan mengada-ada. Bahkan, di dalam SKB malah tidak tercantum definisi dari ujaran kebencian yang biasanya sangat melekat.

"Aturan di SKB ini samar, tidak memiliki dasar yang kuat, dan terlalu luas. Contohnya, larangan memberikan like pada unggahan media sosial bermuatan ujaran kebencian terhadap semboyan bangsa. Tapi, tidak ada definisi ujaran kebencian," ucapnya.

Berbagai larangan yang berada di dalam SKB justru sama sekali tidak ada hubungannya dengan keamanan nasional. Seharusnya, jika terpaksa dibentuk tentunya dengan standar internasional.

Oleh karena itu, SKB tersebut harus direvisi sesuai dengan standar internasional dan konstitusi sendiri, untuk memastikan agar kebebasan berekspresi tetap terjamin.

Indonesia sendiri telah meratifikasi Kovenan International Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan mengadopsinya ke dalam konstitusi untuk melindungi kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.

Jika hak-hak tersebut harus dibatasi, maka perlu ditetapkan dalam ketentuan hukum yang bersifat proporsional untuk mencapai tujuan yang sah, seperti melindungi keamanan nasional atau kesehatan masyarakat.

Berlebihan
Sejumlah pusat studi dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia menilai SKB 11 menteri dan lembaga berlebihan (excessive) dan tidak memiliki dasar hukum yang tegas dalam memaknai radikalisme.

"Keputusan pemerintah tentang SKB itu justru melahirkan kesewenang-wenangan, serta memperlihatkan negara kian menjauh dari prinsip negara hukum," kata Sekretariat Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia, Dr Herlambang P Wiratraman, Kamis (28/11), dalam pernyataan sikapnya mewakili pusat studi dan akademisi lainnya.

Pernyataan sikap bersama tersebut didukung oleh Center of Human Rights Law Studies/Pusat Studi Hukum dan HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Pusat Studi Anti-Korupsi & Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Pusat Latihan dan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Sekretariat Kaukus Akademisi untuk Kebebasan Akademik Surabaya.

Kemudian Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Sentra Studi Hak Asasi Manusia (SESHAM) Purwokerto, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed) Medan, Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas Padang, Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (PPHD).

Menurut dia, SKB itu juga secara formal dan prosedural akan mengundang ketidakjelasan otoritas yang akan bekerja untuk menguji secara objektif dan yang paling mendasar bertentangan dengan prinsip lex certa, hukum yang berkepastian.

Dari sudut ketatanegaraan, terjadi pembatasan hak dan kebebasan yang seharusnya bukan ditempatkan dengan bentuk hukum SKB, melainkan dengan undang-undang.

Apabila pemerintahan merasakan ada urgensinya, maka seharusnya presidenlah yang harus berani menerbitkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang).

SKB tersebut berpotensi mengancam kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan bagi ASN yang bekerja di kampus juga berpotensi bertentangan dengan kebebasan akademik, sebagaimana diatur dalam Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik.

"Pembatasan memang bisa dilakukan pemerintah, tetapi harus jelas standar dan acuannya, terutama dengan bersandar standar hukum hak asasi manusia internasional, misalnya pembatasan yang merujuk pada prinsip-prinsip Siracusa," ujar akademisi Fakultas Hukum Unair Surabaya itu.

Rumit
SKB tentang penanganan radikalisme itu juga dinilai sementara pihak mengundang kesewenang-wenangan yang justru memperumit proses hukum yang ada, karena sejauh ini belum pernah dievaluasi perangkat etika yang ada di kampus atau lembaga pemerintah, bagaimana mengidentifikasi, menguji, sekaligus mempertanggungjawabkannya, sehingga perlu aturan SKB tersebut.

Karena bila tidak pernah ada basis evaluasi yang bisa dipertanggungjawabkan, maka khawatirkan dalam praktiknya justru terjadi kesewenang-wenangan antar-hirarki di internal jajaran pemerintahan yang justru bertolak belakang dengan semangat membangun integritas dan profesional ASN.

Keutuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk menjaga keberagaman dan kebhinekaan yang ada dalam sistem sosial Indonesia memang tetap perlu dijaga tanpa harus mengorbankan hak-hak asasi masyarakat secara luas.

"Kami mendorong pemerintah beserta jajaran aparat penegak hukum tetap berpegang pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta menggunakan kerangka hukum yang ada untuk menangkal potensi ekstremisme, terorisme, atau tindakan kriminal lainnya," ujarnya.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019