Penggunaan aksara Bali merupakan bentuk penguatan identitas budaya daerah
Denpasar (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Bali menyatakan Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

"Pergub 80/2018 juga telah melalui proses fasilitasi, verifikasi, dan disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri RI sehingga dapat diundangkan pada 26 September 2018," kata Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Bali Anak Agung Ngurah Oka Sutha Diana, di Denpasar, Minggu.

Sutha Diana menyampaikan pernyataan itu menanggapi pendapat sejumlah kalangan yang mempermasalahkan penempatan aksara Bali mengacu pada Pergub 80/2018.

Baca juga: Koster anjurkan acara internasional gunakan aksara dan busana Bali

Ia mengemukakan, aksara Bali merupakan huruf yang digunakan untuk menuliskan segala aspek kehidupan masyarakat Bali sejak dahulu sebelum dikenal huruf Latin. Bukti-bukti itu dapat dilihat dari semua naskah lontar, prasasti, purana, dan berbagai manuskrip lainnya yang memuat keseluruhan pengetahuan, tradisi, seni, dan budaya serta kearifan lokal dari "lelangit", leluhur, dan para Kawi Bali dari zaman ke zaman.

"Aksara Bali sebagaimana digunakan dalam Kekawih Sutasoma yang memuat Sesanti Bhinneka Tunggal Ika dan nama Pancasila terbukti telah menyelamatkan khasanah budaya Nusantara. Aksara Bali merupakan aksara yang masih hidup dan berfungsi sebagai media komunikasi, alih pengetahuan, ekspresi seni, dan dokumen-dokumen kultural secara turun temurun," ujarnya.

Aksara Bali pun telah menyejahterakan kalangan pangawi (sastrawan), seniman, dan perajin melalui karya-karyanya, seperti seni prasi, tika, dan aneka terbitan karya sastra. "Aksara Bali bukan sekadar huruf biasa, melainkan aksara suci yang dimuliakan oleh masyarakat Bali," ujarnya.

Oleh karena itu, untuk memuliakan aksara Bali Pergub No 80/2018, maka ditentukan posisi aksara Bali dalam penulisan papan nama kantor, jalan, gedung, sarana pariwisata, dan fasilitas umum lainnya di atas nama yang ditulis dengan huruf Latin.

"Penggunaan aksara Bali merupakan bentuk penguatan identitas budaya daerah sebagai bagian utuh kekayaan budaya nasional dalam kerangka Ideologi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika," ucap Sutha Diana.

Papan nama kantor, jalan, gedung, sarana pariwisata, dan fasilitas umum lainnya yang ditulis dengan Aksara Bali tetap menggunakan Bahasa Indonesia. Pengalihaksaraan huruf Latin ke dalam aksara Bali tetap mengikuti kaidah pelafalan Bahasa Indonesia. Bahkan dalam pengaturan penggunaan aksara Bali dalam penulisan papan nama kantor, jalan, gedung, sarana pariwisata, dan fasilitas umum lainnya ditentukan dengan tulisan warna hitam dan latar belakang warna gradasi merah ke putih.

"Pemberlakuan Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali pun telah mendapat sambutan positif dari seluruh lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga swasta, dan masyarakat luas sebagai bukti kesungguhan komitmen dalam memuliakan aksara Bali," ucap Sutha Diana.

Pihaknya mengharapkan masyarakat Bali agar melaksanakan Pergub 80 Tahun 2018 dengan baik, semangat, dan penuh rasa bangga dalam rangka mewujudkan visi "Nangun Sat Kerthi Loka Bali" di bawah kepemimpinan Gubernur Bali Wayan Koster dan Wagub Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati.


Baca juga: Gubernur resmikan penggunaan aksara Bali di bandara

Baca juga: Fasilitas publik akan bertuliskan aksara Bali


 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019