Surabaya (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyiapkan pendampingan psikososial bagi atlet senam proyeksi SEA Games 2019 di Filipina Shalfa Avrila Siani (17) yang gagal berangkat karena dipulangkan oleh pelatihnya.

"Pendampingan psikososial untuk mengatasi trauma psikologis yang dialami Shalfa atas kasus yang dialaminya," ujar Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa usai menemui Shalfa beserta keluarganya di Gedung Negara Grahadi di Surabaya, Senin.

Shalfa gagal berangkat mengikuti SEA Games dan dipulangkan dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Persatuan Senam Indonesia (Persani) di Gresik karena dianggap melakukan indisipliner.

Baca juga: Pesenam SEA Games asal Kediri mendadak dipulangkan

Selain itu, polemik atlet senam artistik yang dipulangkan tersebut juga mencuat akibat adanya isu tentang keperawanan.

Pada kesempatan itu, Gubernur Khofifah berpesan kepada Shalfa agar hatinya tetap tenang, salah satunya dengan cara lebih banyak berdzikir.

"Saya juga sudah berkomunikasi dengan Ketua KONI Jatim bahwa di Puslatda juga ada pendampingan psikologi bagi atlet sehingga terapi psikososial ini penting dilakukan," ucap orang nomor satu di Pemprov Jatim tersebut.

Selain melakukan pendampingan psikososial, kata dia, yang tak kalah penting adalah menyiapkan pendidikan lanjutan bagi Shalfa dan sudah ditawarkan ke mana akan melanjutkannya.

Baca juga: Perjuangkan pesenam Shalfa, KONI Kediri temui Khofifah

"Dia memilih di tempat asalnya, di Kota Kediri. Saya juga sudah komunikasi dengan Walikota Kediri dan katanya ada salah satu SMA negeri yang akan menerima kepindahan sekolah Shalfa. Apalagi SMA kewenangannya ada di bawah pemprov, sehingga tinggal menunggu proses administrasi," katanya.

Terkait isu keperawanan yang menjadi penyebab dipulangkannya Shalfa, Khofifah menegaskan bila alasan itu benar disampaikan oleh pelatih, ia meminta pelatih untuk segera meminta maaf dan dilakukan pemanggilan khusus sampai dengan sanksi.

Dalam hal ini, lanjut dia, kode etik pelatih perlu ditelaah dan evaluasi kembali, sehingga tidak terulang dan menjadi trauma bagi atlet junior.

"Kami berharap segala sesuatu berjalan kondusif dan produktif. Harkat dan martabat atlet dan pelatih harus dijaga. Maka kode etik atlet dan pelatih harus dievaluasi jika dirasakan kurang sesuai sehingga semua pihak memiliki standar untuk dijadikan pedoman," tuturnya.

Secara khusus, gubernur perempuan pertama di Jatim itu meminta agar kode etik pelatih dapat ditegakkan dan sudah selayaknya diatur bahwa pelatih selarasnya menghormati hak-hak dasar, martabat dan harga diri semua orang.

Menurut dia, pelatih juga harus menghormati hak-hak individu untuk privasi termasuk hal-hal yang sifatnya kerahasiaan, begitu pula sebaliknya dengan atlet.

Mantan menteri sosial tersebut menegaskan prinsipnya ini adalah olahraga prestasi, maka seyogyanya yang menjadi ukuran adalah prestasi.

Ia juga mengatakan walaupun dalam proses pembinaan atlet ada pembinaan kedisiplinan dan karakter, indeks prestasi akan menjadi indikator utama ketika atlet masih ada di dalam pusat pelatihan.

Oleh karena itulah di luar dari indikator prestasi yang kemudian mempengaruhi atau kemudian dijadikan dasar pertimbangan utama, sampai kemudian mendegradasi atlet, hal itu sangat disayangkan.

"Tapi bila memang karena prestasi, dimana tidak bisa mengikuti standar, hal itu harus diikuti. Karena hal itu menjadi kewenangan cabang olahraga atau persatuan olahraga bersangkutan," katanya.

Pewarta: Fiqih Arfani
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2019