Jakarta (ANTARA) - Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) merilis hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 di Paris, Perancis, Selasa (3/12).

Program tersebut menilai kemampuan membaca, matematika dan sains siswa berumur 15 tahun, di 79 negara. Penilaian tersebut dilakukan tiap tiga tahun sekali.

Pada penilaian PISA 2018, China melesat menempati peringkat pertama, mengalahkan Singapura yang kali ini menempati peringkat kedua.

Bagaimana dengan Indonesia? Hasilnya tidak jauh berbeda sejak pertama kali mengikuti penilaian internasional tersebut pada 2001. Indonesia konsisten berada pada posisi papan bawah.

Skor kemampuan siswa Indonesia dalam membaca meraih skor rata-rata yakni 371, jauh dibawah rata-rata OECD yakni 487. Kemudian untuk skor rata-rata matematika yakni 379, sedangkan skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains skor rata-rata siswa Indonesia yakni 389, sedangkan skor rata-rata OECD yakni 489.

Laporan OECD tersebut juga menunjukkan bahwa sedikit siswa Indonesia yang memiliki kemampuan tinggi dalam satu mata pelajaran, dan pada saat bersamaan sedikit juga siswa yang meraih tingkat kemahiran minimum dalam satu mata pelajaran.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, meminta agar tidak mengesampingkan penurunan skor PISA Indonesia tersebut. "PISA merupakan konfirmasi dari masalah literasi yang sebenarnya, yang sudah kita ketahui bersama," kata Nadiem.

Mendikbud juga menambahkan bahwa perlu adanya langkah-langkah strategis yang dilakukan, untuk menindaklajuti hasil PISA tersebut.

Dari hasil PISA tersebut, terungkap bahwa hanya 30 persen anak Indonesia yang memiliki kemampuan membaca tingkat dua. Jauh-jauh dari rata-rata OECD yakni 77 persen. Kemampuan membaca tingat dua tersebut, contohnya seperti dapat mengidentifikasi ide utama dalam teks dengan sedang hingga panjang, hingga mencari informasi berdasarkan kriteria eksplisit.

Untuk bidang matematika, hanya 28 persen siswa Indonesia yang mencapai kemahiran tingkat dua OECD, yang mana rata-rata OECD yakni 76 persen. Dalam tingkatan itu, siswa dapat menafsirkan dan mengenali tanpa adanya instruksi langsung dan mengetahui bagaimana situasi dapat direpresentasikan secara matematis.

Siswa Indonesia yang menguasai kemampuan matematika tingkat tinggi (tingkat lima keatas) hanya satu persen, sedangkan rata-rata OECD sebanyak 11 persen.

Untuk bidang sains, sekitar 40 persen siswa Indonesia mencapai level dua, bandingkan dengan rata-rata OECD yakni 78 persen. Pada kemampuan tingkat dua, siswa dapat mengenali penjelasan yang benar untuk fenomena ilmiah yang dikenal dan dapat menggunakan pengetahuan tersebut untuk mengidentifikasi, dalam kasus-kasus sederhana.

Baca juga: OECD: Tingkat pendidikan mandek kendati pengeluaran lebih besar

Sosial ekonomi

Hasil kajian PISA tersebut, juga mengungkap bahwa anak-anak yang beruntung atau secara ekonomi mampu lebih unggul dari anak-anak yang kurang beruntung.

Contohnya dalam kemampuan membaca, anak-anak dari keluarga mampu unggul dengan skor 52 pada PISA. Anak-anak keluarga mampu juga lebih unggul di matematika dan sains.

Hanya sekitar 14 persen, siswa yang kurang beruntung yang sanggup meraih kemampuan skor tinggi dalam kemampuan membaca.

Dari laporan itu terungkap, bahwa 64 persen siswa kurang beruntung atau dari keluarga miskin itu bersekolah di sekolah yang kurang baik pula, yang mana sekolah tersebut kekurangan guru dan bahan ajar.

Kondisi tersebut berbeda dengan anak-anak dari keluarga mampu, yang memiliki kemampuan baik, bersekolah di sekolah yang baik pula, dan memiliki guru yang bersertifikasi serta lebih banyak lulusan magister. Sekolah yang baik itu, memiliki akses akan bahan ajar yang memadai. Jumlahnya sekitar 31 persen.

Persentase itu jauh di atas rata-rata OECD, yang mana seharusnya 34 persen siswa yang sekolah di sekolah kurang baik, dan 18 persen yang sekolah di sekolah yang baik.

Iklim sekolah di Tanah Air, juga tidak lebih baik. Sebanyak 41 persen siswa dilaporkan mengalami perundungan beberapa kali dalam sebulan.

Guru juga membutuhkan waktu lebih lama, untuk membuat siswanya diam sebelum memulai pelajaran. Selain itu, sebanyak 21 persen membolos sekolah dan 52 persen lainnya datang terlambat ke sekolah.

Laporan OECD tersebut juga menyebut ada korelasi antara perundungan yang dialami dengan siswa yang membolos sekolah. Siswa yang mengalami perundungan di sekolah cenderung membolos sekolah.

Cita-cita

Laporan PISA itu juga menjelaskan bahwa rata-rata anak Indonesia, masih mempunyai cita-cita yang sama dengan generasi sebelumnya.

Siswa yang memiliki kemampuan dalam matematika, mempunyai cita-cita menjadi insinyur atau ilmuwan.

Selanjutnya, siswa yang memiliki kemampuan tinggi dalam sains, berharap bisa menjadi dokter. Hanya sekitar satu persen siswa, yang ingin bekerja di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), seperti yang digeluti "Mas Menteri" Nadiem Makarim sebelum menjadi Mendikbud.

Kepala Balitbang Kemendikbud, Totok Suprayitno, mengatakan siswa pada usia 15 tahun belum benar-benar tahu ingin menjadi apa pada masa depan. Meski demikian, Totok sepakat bahwa perlu adanya upaya mengenalkan profesi lain kepada siswa.

"Siswa harus dikenalkan mengenai profesi-profesi lainnya. Mereka belum tahu banyak dengan profesi di luar sekolah," kata Totok.

Siswa mempunyai cita-cita sesuai dengan apa yang dilihatnya sehari-hari, seperti menjadi PNS, Polisi, ataupun dokter.

Baca juga: Laporan PISA katakan siswa perempuan Indonesia raih skor lebih tinggi

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019