Brisbane (ANTARA News) - Insiden pesawat Airbus A330-300 milik Qantas yang mengalami turbulensi dalam penerbangan dari Singapura ke Perth, Selasa (7/10) lalu, mendorong Otoritas Keselamatan Penerbangan Sipil (CASA) untuk mengingatkan setiap penumpang agar mengenakan sabuk pengaman sepanjang penerbangan mereka. Juru Bicara CASA, Michelle Harris, seperti dikutip ABC, Rabu, mengatakan insiden yang melukai 46 orang yang ada dalam penerbangan Qantas itu merupakan peringatan yang baik bagi para penumpang untuk senantiasa mengenakan sabuk pengaman (seatbelt) setiap saat, kecuali kalau ada penumpang yang hendak ke toilet. Pentingnya mengenakan "seatbelt" sepanjang penerbangan itu dikarenakan turbulensi yang berbahaya bisa terjadi dengan cepat dan tidak dapat diprediksi sebelumnya, kata Harris. Insiden turbulensi itu memaksa pilot Qantas bernomor penerbangan QF72 dengan 303 orang penumpang dan 10 orang awak itu mendarat darurat di kota Exmouth, Australia Barat. Dari 46 orang korban insiden ini, sebanyak 13 orang di antaranya mengalami luka serius. Kejadian serupa juga menimpa pesawat China Airlines yang sarat muatan. Pesawat naas itu sempat "anjlok" seribu kaki di angkasa saat mengalami turbulensi atau melintas di ruang hampa udara di atas Filipina. Akibat "anjlok" yang cukup jauh, yakni di antara kertinggian semula sekitar 35 ribu kaki hingga kemudian menjadi 25 ribu kaki itu, pesawat mengalami goncangan yang cukup kuat. "Goncangan yang cukup kuat itulah yang mengakibatkan sejumlah penumpang pesawat mengalami luka-luka," kata Asisten Manager Humas PT Angkasa Pura I Bandara Ngurah Rai Bali, Moch Dimyati, di Bandara Ngurah Rai, Bali Bukan yang pertama Insiden 7 Oktober ini bukan yang pertama bagi Qantas. Dari Juli hingga Oktober 2008, Qantas setidaknya telah mengalami empat kali insiden penerbangan serius. Insiden serius pertama yang menyedot perhatian publik negara itu terjadi pada 25 Juli 2008. Saat itu, pesawat Qantas Boeing 747-400 terpaksa mendarat darurat di Filipina dalam penerbangan langsungnya dari Hongkong ke Melbourne, setelah sebuah tabung gas oksigen di pesawat itu meledak. Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Lalu pada 29 Juli, sebuah pesawat Qantas yang melayani rute penerbangan domestik terpaksa kembalil ke Bandara Adelaide, Australia Selatan, akibat ada gangguan terhadap pintu roda pendarat. Pada 2 Agustus, Qantas Boeing 767 pun terpaksa kembali ke Bandara Sydney segera setelah lepas landas akibat ada cairan yang keluar dari sayap pesawat tersebut. Akibat serangkaian insiden ini, tingkat kepercayaan publik negara itu pada standar keselamatan Qantas merosot. Anjloknya tingkat kepercayaan publik Australia itu setidaknya tercermin dari hasil survei UMR, salah satu lembaga riset penting yang berbasis di Australia dan Selandia Baru. Laporan hasil survei UMR yang diperoleh ANTARA di Brisbane, Rabu, menyebutkan, sebanyak 63 persen dari seribu orang responden yang mengikuti survei UMR pada 1-7 Agustus dan 19-24 September 2008 memandang standar keselamatan penerbangan Qantas memburuk dalam beberapa tahun terakhir ini. Persentase responden yang kepercayaannya merosost terhadap Qantas ini meningkat sebanyak 11 persen sejak survei pertama dilakukan Agustus lalu. Hasil survei itu juga menunjukkan tingkat kekhawatiran pada standar keselamatan penerbangan Qantas lebih besar bagi para responden perempuan, serta mereka yang berasal dari negara bagian Queensland, berpendapatan rendah, dan berusia tua. Saat ini, dengan jumlah armada yang relatif besar, Qantas melayani 81 tujuan penerbangan di lima benua, termasuk penerbangan langsung Sydney-Jakarta. Bahkan, Qantas berencana memperluas rute penerbangannya ke Amerika Selatan mulai 24 November 2008. Maskapai penerbangan yang terkenal dengan logo "Kangguru Terbang" ini pun baru-baru ini diperkuat dengan kehadiran pesawat superjumbo "A-380". (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008