Jakarta (ANTARA News) - Serakah dan perasaan takut adalah dua emosi yang sedang bertarung keras di pasar uang saat ini dan rasa takutlah pemenangnya. Bursa saham AS dan Eropa jatuh pada perdagangan kemarin meski Federal Reserve bersama dengan bank-bank sentral Eropa, Kanada dan China serentak menurunkan suku bunga acuan. Para investor dicengkeram panik yang disebut para psikolog dan sejarawan sebagai hal yang sungguh tidak masuk akal namun akan terus menghantui pasar. Para investor ini tidak sedang membeli saham. Mereka tidak sedang meminjam uang untuk membeli obligasi apalagi bank-bank juga kian ketat mengawasi aliran kredit. Mereka hanya tiba-tiba takut tidak lagi bisa mendapat bayaran. "Orang-orang didorong berbuat sesuatu oleh gambaran-gambaran terbaik sekaligus terburuk akan terjadi di kemudian masa," kata George Loewenstein, profesor psikologi dan ekonom pada Universitas Carnegie Mellon di Pittsburgh, AS. "Dan gambaran terburuklah yang lebih terekam jelas dalam pikiran mereka saat ini." Ketakutan bahwa pasar kredit bakal membeku inilah yang kira-kira membuat orang-orang seperti Ellen Logan tidak bisa menjual kondominium mewahnya di kawasan Chicago. Di Los Angeles, seorang warga bernama Ron Schwartz tidak mampu membelikan istrinya mobil baru, sedangkan di Seattle, Lise LeVere hanya mau berbelanja kebutuhan-kebutuhan pokok. Belanja konsumen menempati duapertiga dari produk domestik bruto (PDB) AS sehingga jika orang-orang Amerika menutup rapat dompet-dompet mereka, apa jadinya AS? Para pengamat malah menilai jika keadaan itu terjadi maka resesi atau apa pun yang lebih gawat dari ini hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak di AS. Ketakutan bahwa kontraksi ekonomi akan meremukkan laba perusahaan telah membuat indesk Dow Jones Industrial Average tertekan 30 persen, sedangkan indeks S&P 500 terpangkas 33 persen. Ketakutan bakal merugi yang menghantui pikiran semua orang Amerika pernah mendorong manusia mengeluarkan naluri hewaninya yang oleh ekonom agung semasa Depresi Besar, John Maynard Keynes, disebut sebagai "dorongan spontan untuk bertindak ketimbang tidak berbuat apa-apa", yaitu keluar dari pasar (modal). "Semua orang khawatir tidak memperoleh bayaran," kata William Silber, ekonom pada Universitas New York dan penulis buku "When Washington Shut Down Wall Street: The Great Financial Crisis of 1914." Karena setiap orang memiliki alasan rasionalnya masing-masing, maka panik dapat terjadi manakala orang mencoba bertindak mengatasi ketakutannya begitu perasaan itu menyergap mereka. "Tak ada seorang pun yang mau tinggal di belakang (didahului bereaksi oleh yang lainnya)," kata Silber. Para ekonom menilai, memiliki sedikit perasaan takut lebih baik ketimbang berlebihan. Selama beberapa dekade setelah tahun 1930an, kenangan Depresi Besar justru telah membakar optimisme dan membuat struktur aset di AS menggelumbung tanpa mesti tumbuh terlalu besar. Namun, ketakutan yang kini menghinggapi investor telah mencapai satu kekuatan yang malah merekayasa informasi-informasi sekunder sekaligus menciptakan sebuah lingkaran kebusukan, demikian Hersh Shefrin, profesor prilaku keuangan pada Universitas Santa Clara, California. Indeks Wall Street yang kerap menunjukkan kadar ketakutan investor, VIX, mengukur risiko dengan cara menggunakan pola derivatif lewat membandingkan status jaminan terhadap kerugian di pasar saham. Hari ini (Kamis waktu AS atau Jumat pagi WIB), posisi indeks VIX mencapai rekor 59,06. Bangkrutnya Bear Stearns, Maret lalu, telah mendorong investor mempertanyakan masa depan Lehman Brothers dan bank-bank investasi lainnya. Bahkan, karena khawatir pada status induk perusahaan keuangan Fannnie Me dan Freddie, pemerintah memaksa diri untuk mengambil alih eksposur kredit perumahan pada September kemarin. Langkah ini justru menciptakan ketakutan mengenai kelangsungan hidup raksasa asuransi American International Group yang pada dasarnya telah menyusun kebijakan mengenai keasuransiannya di atas kepentingan para investor. Investor makin takut ketika Kongres menolak proposal "bailout" 700 miliar dolar AS dari Menteri Keuangan AS Henry Paulson guna merehabilitasi lembaga-lembaga keuangan di AS. "Tatkala kita panik karena salah membaca sinyal, kita pun keliru membaca ancaman yang sesungguhnya ringan sebagai ancaman yang mengerikan dan kita pun menjadi seorang konservatif yang berlaku ganjil," kata Shefrin yang adalah pengarang buku setebal 2000 halaman, "Beyond Greed and Fear: Understanding Behavioral Finance and the Psychology of Investing." Kekeliruan membaca sinyal inilah yang menjadi alasan mengapa dana talangan The Fed sebesar satu triliun dolar AS gagal menyelamatkan sektor keuangan dari krisis. Bahkan, permintaan pinjaman sektor konsumsi jatuh di luar perkiraan hingga mencapai 7,9 triliun dolar AS pada Agustus lalu, penurunan tertajam dalam kurun lebih dari sedekade ini. "Ada banyak ketakutan sekaligus banyak kekhawatiran di luar sana. Tak pelak lagi kita mesti lebih berhati-hati dalam berutang," kata CR "Rusty" Cloutier, presiden dan CEO MidSouth Bancorp Inc di Lafayette, Louisiana. Risiko menerbitkan surat berharga atau mengajukan pinjaman bisnis berjangka pendek telah mencapai level tertinggi dalam kurun delapan bulan terakhir sehingga menekan sektor korporat, perbankan dan lembaga pemerintah yang tergantung pada pasar keuangan dalam meningkatkan likuiditasnya untuk membayar gaji karyawan. Jika digabungkan dengan penarikan simpanan di bank, makanya bekunya pasar surat utang telah menyumbat keseluruhan perekonomian. Itu semua memaksa the Fed untuk pertamakalinya meminjam dari pihak swasta dengan menjual surat utang kepada mereka secara kolateral. "Bahkan langkah terakhir ini pun tidak bisa cepat mengakhiri krisis," kata investor kawakan berusia 94 tahun, Seth Glickenhaus, yang ketika Wall Street ditabrak "Selasa Hitam" pada 1929, pernah bertugas sebagai kurir untuk perusahaan investasi Salomon Brothers. Kini, Seth mengelola asset 1,8 miliar dolar AS sebagai kepala investasi pada Glickenhaus & Co, New York. "Ada siklus bisnis. Fakta paling sederhana bahwa pemerintah bakal mengambil langkah konstruktif pun tidak akan berbuah apa-apa," kata Seth. Charles Geisst, profesor keuangan pada Manhattan College di Riverdale, New York menilai, krisis sekarang setara dengan krisis 1932, di mana buruknya pasar kredit dan jatuhnya bursa saham menjadi prakondisi yang mengantarkan Franklin Delano Roosevelt (FDR) memenangkan Pemilihan Presiden dan menduduki Gedung Putih. "Tetapi, saya tidak yakin saat ini semua orang bisa seperti FDR," kata Geisst yang adalah pengarang "Wall Street: a History" dan orang yang percaya AS akan mengalami lagi Depresi Besar. "Saya tak yakin kedua calon presiden AS mempunyai jawaban untuk apa yang sedang mereka hadapi sekarang ini. Situasinya lebih dari sekedar masalah politik yang lebih gampang diabaikan," ungkap Geisst. Manakala para pakar dan otoritas keuangan menularkan sinyal ketidakmenentuan dan khususnya kelemahan mereka sendiri, maka itu akan membuat orang merasa rentan dan bertambah khawatir, demikian Paul Slovic, profesor psikologi pada Universitas Oregon di Eugene dan pendiri Decision Research yang meneliti proses pengambilan keputusan keuangan dan risiko. Selama penobatannya sebagai Presiden AS, Roosevelt menyampaikan pidato bernada membakar semangat lewat radio untuk menjamin keamanan finansial warga AS. Sebaliknya, semasa Lehman Brothers dan AIG meleleh akhir bulan lalu, Presiden George W. Bush nyaris bungkam dan hanya menyampaikan pidato berisi 160 kata mengenai krisis terburuk yang menimpa AS sejak era Roosevelt ini. Komponen besar lainnya dari ketakutan adalah kedwiartian (ambigu), demikian para psikolog. Para investor sungguh tak tahu apa yang sedang terjadi dan hanya membuat mereka lebih gelisah. "Dihadapkan pada situasi yang tidak dikenalinya, manusia, seperti halnya binatang, terpaksa mengambil cara 'melawan atau kabur," kata Shefrin. Untuk itulah, para investor benar-benar membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menyisihkan ketakutannya, tapi manakala harga aset tertekan tajam maka biasanya prilaku serakah mereka muncul kembali. Bahkan itu terjadi pada perdagangan kemarin (Kamis) di mana bursa saham Asia dan Eropa mengalami "rebound" setelah Korea Selatan dan Taiwan mengikuti jejak bank sentral global memotong suku bunga. Indeks MSCI World terangkat 0,9 persen menjadi 1.013,09 poin setelah sempat merosot 15 persen dalam lima hari belakangan. "Aspek terpenting dari sikap rakus adalah menghindari situasi di mana yang lain mendapatkan posisi lebih baik dibanding anda karena anda terlalu konservatif," kata Baruch Fischhoff, psikolog kognitif pada Universitas Carnegie Mellon, Pittsburgh yang meneliti proses pembuatan keputusan. Namun, beberapa investor khawatir tidak cukup konservatif, kata Stefan Greenberg, Direktur Pelaksana pada Lenox Advisors, New York yang mengkonsultani manajemen kekayaan. Klien-kliennya telah ia dorong untuk mempertanyakan kondisi perusahaan investasi mereka apakah masih sehat dan berlikuiditas baik. "Kami mendengar banyak sekali emosi, kami juga mendengar ada banyak ketakutan," kata Greenberg yang justru menyarankan kliennya tidak melikuidasi portofolio mereka. "Tentu ada panik, tapi beberapa bulan ke depan itu akan reda kembali," katanya. (*)

Oleh Matthew Benjamin dan Michael M
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008