Jakarta (ANTARA) - Menjelang 100 hari Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat dianggap penting untuk disahkan pemerintah.

RUU tersebut diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan adat serta menjawab berbagai tantangan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat di sejumlah wilayah Indonesia.

Perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak masyarakat adat merupakan prinsip Hak Asasi Manusia yang kewajiban untuk melaksanakannya diletakkan pada negara.

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat 2 menyatakan jika Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.

Anggota Komisi IV DPR RI Sulaeman L. Hamzah, mengatakan jika Partai Nasional Demokrat (NasDem) akan terus mengawal dan memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat untuk segera disahkan.

Baca juga: RUU Masyarakat Adat dan keseriusan pemerintah membahasnya

"Partai NasDem akan terus mengawal dan memperjuangkan proses legislasi RUU Masyarakat Hukum Adat," ujar Sulaeman L. Hamzah berdasarkan keterangan yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin (9/12).

Menurut Sulaeman, RUU yang diharapkan menjadi solusi mengatasi persoalan-persoalan hak masyarakat adat itu kini sudah masuk Daftar Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2020 dengan nomor urut 33, berdasarkan Rapat Pengambilan Keputusan atas hasil Penyusunan Prolegnas RUU Tahun 2020-2024 dan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020.

Ia menambahkan jika fraksi NasDem bersama fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan PDI Perjuangan yang mengusulkan RUU Masyarakat Adat dibahas saat rapat Badan Legislasi pada tanggal 05 Desember 2019, meminta RUU tersebut dapat segera dibahas pada Prolegnas RUU Prioritas tahun 2020.

RUU Masyarakat Adat bukan baru pertama kali itu diusulkan masuk Prolegnas, RUU Masyarakat Hukum Adat pertama kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) DPR RI pada 2013, 2014, dan Prolegnas Prioritas 2019.

Terakhir pada rapat kerja yang dilaksanakan antara Badan Legislatif (Baleg) DPR dan Pemerintah pada 19 Juli 2019 telah disepakati bahwa pembahasan mengenai Rancangan UU tentang Masyarakat Adat sampai tiga kali masa persidangan.

Namun, sikap kurang proaktif pemerintah menyebabkan hingga akhir masa jabatan DPR RI periode 2014-2019, RUU itu gagal disahkan menjadi Undang-Undang.

Baca juga: KPA: Pertimbangkan hak masyarakat adat di RUU Pertanahan

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas bahkan meminta pemerintah untuk serius dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang nantinya akan ditetapkan menjadi Undang-Undang tersebut.​​

Tumpang-Tindih
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, mengatakan memang benar saat ini telah banyak peraturan perundangan-perundangan yang mengatur keberadaan masyarakat adat.

Tapi keberadaan peraturan perundang-undangan yang sektoral tersebut justru mengakibatkan masyarakat adat kesulitan untuk mendapatkan hak-hak tradisionalnya.

"Karena dalam praktiknya UU tersebut saling tumpang-tindih dan menyandera pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat," tutur Rukka berdasarkan keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.

Senada dengan Sekjen AMAN itu, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rakhma Mary Herwati menambahkan keberadaan peraturan perundang-undangan yang tumpang-tindih belum mampu menjawab kebutuhan Masyarakat Adat.

Baca juga: Menteri LHK janji bantu selesaikan RUU masyarakat hukum adat

"Bahkan keberadaan aturan yang saling menyandera itu menjadi penyebab utama pengabaian dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat," ujar Mary berdasarkan keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.

Sejak lebih dari 20 tahun lalu masyarakat adat dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang bekerja dan memiliki kepedulian terhadap masyarakat adat telah melayangkan tuntutan yang dilakukan secara sporadis agar negara segera melakukan langkah-langkah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

Hingga kini RUU tentang Masyarakat Adat terkatung-katung. Aturan itu tak juga naik menjadi UU meski telah digodok selama dua periode pemerintahan, pertama di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dan kedua di era Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berpendapat jika Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat gagal disahkan karena ketidakseriusan pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut selama dua periode terakhir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Bahkan dalam Konferensi Pers “Menjelang 100 Hari Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf; Bagaimana Nasib Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat?” yang digelar di Jakarta, Senin (9/12), Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengaku tidak pernah melihat Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari pemerintah untuk RUU tersebut.

Baca juga: Menyiapkan dialog dengan Presiden di 20 tahun AMAN

Padahal menurut dia, keberadaan UU Masyarakat Adat merupakan hal yang fundamental untuk perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat.

Kesatuan Kesepuhan Adat Banten Kidul (Sabaki) Sukanta mengatakan saat ini, jumlah masyarakat adat di Indonesia sebanyak 2.267 komunitas dan membutuhkan perlindungan.

Bahkan, masyarakat adat yang tergabung kasepuhan Banten Pakidulan mencapai 750 komunitas, termasuk Baduy.

Masyarakat adat itu tentu sangat membutuhkan perlindungan, karena akan bersinggungan dengan berbagai aspek kehidupan.

Saat mengelola pertanian, masyarakat adat sering kali bersinggungan dengan taman nasional, perum perhutani, dan Hak Guna Usaha. Ada pula tanah leluhur yang dikuasai swasta.

Pada saat bersinggungan itu tentu diperlukan ada kejelasan hukum secara formal, katanya.

Sukanta mengatakan, masyarakat adat Banten Pakidulan sangat berharap pemerintah mengakui dan melindungi masyarakat adat di Indonesia melalui pengesahan UU Masyarakat Adat itu.

"Selama ini, pemerintah mengakui masyarakat adat, namun secara formal belum memiliki legalitas hukum yang kuat," kata Sukanta.
​​​​​​​
Padahal, katanya, di lapangan masyarakat adat dimana-mana melakukan aktivitas kegiatan yang membutuhkan ketenangan, kenyamanan dan ketentraman.

Apabila, masyarakat adat tersebut memiliki payung hukum, diharapkan memberikan kepastian hukum terhadap berbagai hak masyarakat adat, termasuk hak milik kekayaan dan wilayah adat.

Baca juga: RUU Masyarakat Adat, nasibmu kini

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019