Jakarta (ANTARA) - Majalah Bloomberg Businessweek edisi Oktober 2019 mengangkat tema mengenai potensi terjadinya resesi yang akan mengancam kondisi perekonomian global pada 2020.

Tingginya tensi perang dagang Amerika Serikat dengan China yang berawal dari pengenaan bea masuk bagi barang-barang impor asal China oleh AS pada Maret 2018 ini menjadi penyebab utama dari kelesuan global tersebut.

Kondisi tersebut yang membuat negara-negara dengan tingkat ekonomi maju seperti Jerman dan Jepang diperkirakan akan menatap 2020 dengan penuh ketidakpastian.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa saat ini ketidakpastian global terjadi dengan pola dan frekuensi yang berbeda karena sangat cepat berubah sehingga tidak dapat diprediksikan waktu berakhirnya.

Ia menjelaskan gejolak yang disebabkan perang dagang antara Amerika Serikat dengan China membuat adanya ketidakpastian ekonomi global, yang biasanya bisa diestimasi oleh para pakar dan pembuat kebijakan.

Tak hanya itu, kondisi politik di Eropa yang semakin tidak pasti karena Brexit Inggris yang berlarut-larut juga telah menyebabkan kondisi ekonomi dunia semakin tertekan.

Ketidakpastian dengan pola seperti ini, tambah dia, menyebabkan turunnya kepercayaan diri dunia usaha sehingga semakin berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia.

"Kalau dunia usaha ketidakpastian itu sudah biasa mereka menghadapi, bukan sesuatu yang baru. Namun yang berbeda kali ini adalah semuanya serba tidak pasti," ujarnya.

Oleh sebab itu, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan laju perekonomian dunia pada 2019 hanya tumbuh sebesar 3 persen atau turun dari tahun sebelumnya yaitu 3,6 persen.

Menurut Sri Mulyani, jika ekonomi global tahun ini turun dari 3,6 persen pada 2018 menjadi 3 persen, maka resesi akan semakin dekat sebab 0,6 persen sama seperti porsi ekonomi Afrika Selatan.

"Kalau ekonomi dunia sudah 3 persen itu sudah dekat dengan resesi. Biasanya negara berkembang tumbuh lebih tinggi, sekarang sudah all across the board berarti semua negara melemah," katanya.

Ia pun menegaskan pemerintah Indonesia terus meningkatkan kewaspadaan terkait hal tersebut dengan mendorong kebijakan fiskal melalui penggunaan APBN yang efektif dan efisien.

Transformasi ekonomi juga akan diwujudkan melalui penyederhanaan birokrasi dan aturan seperti penataan 72 UU terkait investasi dengan metode Omnibus Law sehingga tercipta ekosistem yang nyaman bagi para investor.

Berbagai kebijakan pemerintah itu dilakukan untuk menjadi stimulus dalam menjaga perekonomian Indonesia serta mencapai program Kabinet Indonesia Maju seperti peningkatan kualitas SDM dan pembangunan infrastruktur.

Omnibus Law

Bloomberg tidak menyebut Indonesia sebagai negara yang berpotensi mengalami resesi. Hal ini sejalan dengan sikap pemerintah yang sudah menyiapkan antisipasi untuk memperkuat kondisi domestik sejak pertengahan Juni 2018.

Penguatan ini mulai dilakukan melalui sistem layanan integrasi secara elektronik (OSS) untuk memberikan kemudahan berusaha bagi penanam modal yang ingin berinvestasi di Indonesia.

Upaya untuk mengundang masuknya aliran modal masuk ini untuk menggairahkan kembali sektor industri pengolahan terutama yang berbasis ekspor dan subtitusi impor.

Tindakan ini juga mendesak untuk memperbaiki daya saing ekonomi yang masih tertinggal dari negara-negara tetangga dengan kekuatan ekonomi setara seperti Vietnam atau Thailand.

Pembenahan besar lainnya adalah dengan mengajukan pembahasan Omnibus Law antara pemerintah dengan DPR yang akan dimulai pada pertengahan Januari 2020 atau usai berakhirnya masa reses.

Beberapa substansi dalam Omnibus Law itu sudah menemui titik pembahasan antara pemerintah dan dunia usaha guna memperlancar proses pembahasan RUU dengan DPR.

Regulasi itu yaitu RUU tentang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian juga sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2020.

Terobosan ini bertujuan untuk mengeliminasi regulasi yang selama ini berpotensi menghambat masuknya investasi dan guna meningkatkan iklim investasi serta mendorong daya saing Indonesia.

Inti dari Omnibus Law adalah mengubah mekanisme perizinan bisnis dari Licensed Based Approach menjadi Risk-Based Approach (RBA), sehingga calon investor dapat lebih cepat dalam mendapatkan izin bisnis.

Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani mengharapkan pembahasan dan implementasi Omnibus Law nantinya dapat berjalan dengan baik agar memudahkan masuknya investasi secara efisien dan efektif.

"Tentunya dari para industri, asosiasi, mereka juga sangat besar kepentingannya, dan kita akan mencari keseimbangannya dan keselarasannya untuk implementasi undang-undang tersebut agar bisa dijalankan dengan optimal," ujar Rosan.

Selain itu, pemerintah juga telah melakukan ratifikasi perjanjian dagang dengan sejumlah negara tujuan ekspor utama terutama di kawasan Asia untuk memperkuat kinerja perdagangan internasional.

Proyeksi

Berbagai upaya pembenahan yang telah dilakukan pemerintah itu sejalan dengan momentum pertumbuhan ekonomi yang masih berada dalam kisaran lima persen, atau lebih baik dari rata-rata negara maju dan berkembang.

Hingga triwulan III-2019, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh akumulatif 5,04 persen atau lebih baik dari negara tetangga seperti Singapura yang hanya tumbuh 0,5 persen, Thailand 2,35 persen dan Malaysia 4,37 persen.

Meski demikian, hal ini masih didukung oleh tingkat konsumsi rumah tangga yang tumbuh optimal dalam kisaran lima persen, bukan dari sisi investasi maupun ekspor.

Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence Sunarsip memperkirakan konsumsi rumah tangga tersebut masih jadi faktor dominan pendukung kinerja perekonomian pada 2020 yang diperkirakan tumbuh 5,2 persen.

"Ekonomi kita bisa bertahan 5,2 persen tahun depan karena inflasi bisa dijaga di bawah empat persen. Kalau inflasi di bawah empat persen artinya pemerintah masih bisa mempertahankan daya beli," katanya.

Menurut dia, masyarakat berpenghasilan menengah yang mencapai 40 persen dari seluruh jumlah masyarakat Indonesia juga dinilai cukup mendorong pertumbuhan ekonomi tersebut.

Sunarsip menambahkan rencana pemerintah dengan Omnibus Law dapat memberikan pembenahan struktural ekonomi dalam jangka panjang yang dampaknya dapat dirasakan paling cepat pada 2021.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menyakini kondisi investasi yang sempat mengalami hambatan perizinan akan mulai membaik.

Ia bahkan optimistis ekonomi dapat tumbuh sesuai asumsi 5,3 persen pada 2020 melalui sejumlah pembenahan yang telah dilakukan, sambil menanti usainya pembahasan Omnibus Law di parlemen.

Iskandar juga menyakini konflik perdagangan antara Amerika Serikat dengan China akan mulai reda tahun depan sehingga permintaan global akan kembali naik dan mendorong ekspor.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal ikut memprediksi Indonesia dapat meraih peluang seandainya perang dagang terus berlanjut.

Menurut dia, kontraksi ekspor nasional akan mereda pada 2020 karena negara tujuan utama seperti China akan mencari alternatif komoditas di Indonesia yang lebih terjangkau.

Perang dagang akan menekan kinerja keuangan korporasi di China sehingga mereka akan mencari sumber energi yang lebih murah seperti batu bara untuk menekan biaya produksi.

Indonesia, kata Faisal, merupakan satu dari tiga negara bersama Mongolia dan Australia penghasil batu bara.

Selain batu bara, ekspor sawit Indonesia pada 2020 juga akan meningkat karena kenaikan tarif impor minyak kedelai dari Amerika Serikat oleh China akan mendorong permintaan terhadap produk substitusi, seperti minyak sawit.

"Kita diuntungkan juga dengan perang dagang yang berdampak kepada batu bara dan sawit," katanya.

Fokus pemerintah terkait infrastruktur, lanjut dia, diperkirakan akan meredam kontraksi impor bahan baku, bahan penolong serta barang modal dan masuknya investasi baru tahun 2020.

Selain itu, dibukanya tarif impor sejumlah bahan pangan sebagai hasil kesepakatan dagang dengan sejumlah negara seperti India untuk gula dan Australia untuk gandum dan daging sapi, akan mendorong impor.

Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro ikut memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 berpotensi masih mengalami fluktuasi dengan proyeksi mencapai 5,1-5,2 persen.

Salah satu indikatornya adalah perilaku investor yang masih "wait and see" terutama dalam menyikapi isu pemakzulan Presiden Donald Trump yang masih dibahas oleh parlemen AS.

Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah segera merealisasikan proyek-proyek kawasan industri termasuk mempercepat realisasi belanja untuk investasi sektor infrastruktur.

Sementara itu, Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya memperkirakan tantangan dari sisi global maupun domestik masih membayangi ekonomi Indonesia pada 2020.

Tantangan tersebut adalah lesunya kinerja perdagangan global, pembenahan defisit neraca transaksi berjalan yang lambat, turunnya investasi langsung serta rencana kenaikan harga barang dan jasa.

Indef, menurut Berly, melihat berbagai tantangan itu yang menghambat potensi Indonesia untuk tumbuh, sehingga ekonomi diperkirakan hanya mencapai 4,8 persen tahun depan.

"Kami melihat dari segi faktor ekspor menurun, jalur transmisi untuk investasi sepertinya tidak menikmati kenaikan," katanya.

Berbagai proyeksi yang beragam ini, memperlihatkan masih adanya ketidakpastian dalam tubuh ekonomi nasional, apalagi kondisi eksternal menjadi hantu yang menakutkan.

Namun, pembenahan yang terus dilakukan secara berkelanjutan merupakan kunci untuk mengatasi ketidakpastian global. Penguatan fundamental ekonomi itu perlu disertai dengan kondisi politik yang kondusif agar investor tidak ragu untuk menanamkan modal di Indonesia.


Baca juga: Wamenkeu: Produktivitas dan daya saing kunci pertumbuhan ekonomi RI

Baca juga: BI: Stabilitas ekonomi RI terjaga meski kondisi global memburuk

Baca juga: Pemerintah optimis ekonomi 2020 tumbuh di atas 5,3 persen


 

Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019