Jakarta (ANTARA) - Meski hingga saat ini belum ada harga resmi yang ditetapkan untuk pembangunan dan sewa fasilitas utilitas bawah tanah di Jakarta, rencana pengenaan harga sewa tersebut dinilai berpotensi untuk terjadinya maladministrasi pelanggaran peraturan daerah (perda).

Ketua Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho, Senin, menilai jika menerapkan sewa kepada pelaku usaha penyedia layanan utilitas publik, Pemprov DKI Jakarta dan BUMD yakni Sarana Jaya dan Jakarta Propertindo (Jakpro) berpotensi melanggar Perda 8 Tahun 1999 tentang jaringan utilitas yang menurutnya menjadi kewajiban dari pemerintah daerah sesuai yang tercantum dalam pasal enam aturan itu.

"Selanjutnya di pasal 8 di Perda 8 Tahun 1999 juga sangat jelas disebutkan bahwa pemakaian ruang tanah dan penempatan jaringan utilitas sementara dan pemakaian sarana jaringan utilitas terpadu milik pemda dikenakan retrebusi daerah. Bukan sewa. Tidak boleh B to B. Ini sudah ada dugaan mal Administrasi yang dilakukan Pemda DKI dan BUMD. Karena Pergub tersebut tidak mengacu kepada Perda 8 Tahun 1999," kata Teguh pada wartawan.

Mengenai retribusi seperti dalam pasal 8 Perda 8 Tahun 1999, disebutkan bahwa Pemprov akan mengenakan biaya retribusi kepada pelaku usaha yang menggunakan ruang tanah dan penempatan jaringan utilitas sementara dan pemakaian sarana jaringan utilitas terpadu milik Pemda.

"Harusnya Pergub itu mengacu pada Perda. Bukan sebaliknya. Yang terjadi saat ini Perda yang harus menyesuaikan dengan Pergub. Ini seperti ingin merubah undang-undang dengan peraturan pemerintah. Harusnya peraturan yang lebih rendah merujuk pada perundang-undangan yang lebih tinggi," kata Teguh.

Ombudsman juga khawatir jika Pemprov DKI terus dengan rencananya mengenakan tarif sewa kepada penyelenggara layanan utilitas publik, maka ujungnya pelayanan publik akan tergangu.

"Jika B to B maka dikhawatirkan tarif sewa yang dikenakan kepada pelaku usaha yang menggunakan sarana terpadu utilitas akan mahal. Sehingga akan mempengaruhi harga dan layanan kepada publik. Harusnya penyediaan layanan publik tidak boleh diserahkan sepenuhnya oleh pihak swasta. Termasuk perusahaan milik daerah," tutur Teguh.

Teguh mengingatkan Pemprov DKI mengenai kreteria retribusi daerah. Dalam aturan dijelaskan retribusi adalah pembayaran yang dilakukan oleh masyarakat atau badan usaha kepada pemerintah atas layanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat dengan harga yang sudah standard baku di dalam aturan perundang-undangan dan masuk ke kas daerah.

Karena sarana terpadu utilitas merupakan fasilitas yang diberikan oleh Pemprov DKI dalam menyediakan sarana terpadu utilitas merupakan bentuk dari pelayanan publik, menurut Teguh seharusnya retribusi yang dikenakan juga tidak boleh terlalu mahal.

"Penyediaan sarana terpadu utilitas bukan untuk bisnis, tetapi untuk kepentingan publik dan masyarakat DKI sehingga harganya juga tidak boleh terlalu mahal. Penunjukan BUMD boleh saja, gak melanggar Perda, tapi harusnya biaya yang dipungut dari pelaku usaha penyedia jaringan utilitas tersebut berupa tarif retribusi. Seperti tarif retribusi iklan di ruang publik. Bukan tarif sewa dengan mekanisme B to B," ujar Teguh.

Akibat hal ini, dalam waktu dekat, Ombudsman DKI akan segera memanggil Pemprov DKI dan BUMD untuk diperiksa.

"Karena ini menyangkut layanan kepada publik. Pergub 106 tahun 2019 yang dibuat oleh pemprov DKI ini sudah salah kaprah. Saat ini Ombudsman sudah menerima banyak keluhan masyarakat akibat Pergub yang salah kaprah harusnya tim gubernur dan biro hukum juga membantu gubernur," tutur Teguh.

Sebelumnya, Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho menyampaikan bahwa harga yang terungkap itu barulah dalam acara pertemuan awal (kickoff meeting) berkaitan dengan sosialisasi Pergub 106 tahun 2019 yang di dalamnya diamanatkan untuk membuat sistem jaringan utilitas terpadu (SJUT).

"Tentunya dari SJUT, biasanya kabel udara ada diatas itu akan dimasukkan dalam SJUT. Selama ini belum ada namanya tarif pemanfaatan jaringan. Selama ini gratis. Masih ilegal yang diatas itu. Kita tertibkan kita masukkan dan nanti akan kita buat ada tarifnya. Memang izinnya itukan izin atas pelayanan perizinan, namun selain izin itu ada tarif pemanfaatan jaringan," ujar Hari, Rabu (4/11).

Baca juga: DPRD DKI khawatir harga sewa jaringan utilitas bebani masyarakat

Baca juga: Harga sewa jaringan utilitas bawah tanah belum ditetapkan

Baca juga: Harga sewa jaringan utilitas bawah tanah di DKI dinilai memberatkan


Dasar hukumnya, kata Hari, ada di dalam Pergub 106 tahun 2019 tentang penyelenggaraan jaringan utilitas dan Perda 8 tahun 1999 tentang jaringan utilitas yang kata dia akan direvisi.

"Di situ ditugaskan untuk penataan utilitas itu operator. Siapa operatornya, itu bisa BUMN bisa BUMD bisa swasta, selain dari dinas sendiri. Selanjutnya akan ada FGD untuk tarif permeternya, untuk PLN berapa, telkom berapa dan APJATEL itu berapa. Angka itu sendiri baru usulan. Nanti kalau waktu FGD akan dicari formatnya berapa yang wajarnya. Tarif itu dibayar per tahun," ucap Hari.

Adapun estimasi skema tarif yang dibuat dua BUMD memiliki adalah, Sarana Jaya menawarkan mekanisme bisnis kepada operator dengan sekali Pembayaran (One Time Charge) adalah: pelaksanaan pembuatan "ducting" terpadu dengan kondisi trotoar telah dilakukan revitalisasi berikut pembuatan "manhole" per 200 meter dengan "end-hole" per 100 meter dipatok Rp700 ribu per meter per operator per satu ruas jalan.

Sedangkan pelaksanaan pembuatan "ducting" terpadu dengan kondisi trotoar belum direvitalisasi berikut pembuatan "manhole" per 200 meter tanpa pembuatan "end-hole" per 100 meter dipatok Rp600 ribu per meter per operator per satu ruas jalan.

Sedangkan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) menawarkan harga untuk sewa sarana utilitas kabel per meter per tahun per satu ruas jalan sebesar Rp13.000-Rp17.000 (microduct 10 mm), Rp25.000-Rp35.000 (subduct 20 mm), Rp50.000-Rp70.000 (subduct 40 mm) dan Rp3.000 (subduct akses).

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019