Purwokerto (ANTARA) - Tata kelola pemilihan umum yang simpel perlu dipikirkan untuk dibuat demi perbaikan penyelenggaraan pemilu ke depan, kata Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ahmad Sabiq.

"Saya setuju dengan pendapat Koalisi Masyarakat Sipil bahwa solusi untuk memperbaiki penyelenggarakan pemilihan umum bukanlah dengan pemisahan kembali pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilu legislatif," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.

Baca juga: Pelantikan Presiden, akhir jalan panjang perjalanan pilpres 2019

Baca juga: KPU siap jalani putusan MK terkait sengketa Pileg 2019

Baca juga: Ketua KPU tegur provinsi belum selesai unggah Situng


Sabiq mengatakan hal itu saat menjadi pembicara dalam kegiatan Pelayanan Pers Melalui Diskusi Refleksi Akhir Tahun "Pemilu 2019 dan Masa Depan Demokrasi Indonesia" yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Banyumas di Aula FISIP Unsoed Purwokerto.

Oleh karena itu, kata dia, hal-hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membuat tata kelola pemilu tidak menjadi rumit ataupun kompleks.

Dengan tata kelola yang simpel, lanjut dia, beban kerja para penyelenggara pemilu tidak terlalu berat ataupun tidak melampaui kapasitas mereka.

"Pemilu bisa tetap dilaksanakan serentak namun dibuat dengan dua penyelenggaraan, yakni pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal," kata pengampu mata kuliah Teori Partai Politik dan Sistem Pemilu itu.

Dalam hal ini, kata dia, pemilu serentak nasional menyelenggarakan pemilu presiden dan wakil presiden, DPR RI, serta DPD RI, sedangkan pemilu serentak lokal menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan pemilu DPRD.

Selain itu, lanjut dia, perlu terus dicari upaya untuk mengurangi beban teknis penyelenggaraan pemilu, baik dari sisi manajemen penyelenggaraan maupun teknologinya.

Sementara itu, anggota KPU Kabupaten Banyumas Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan Sumber Daya Manusia Yasum Surya Mentari mengakui berdasarkan pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019, teknis pemilihan umum tergolong kompleks.

"Hal itu terlihat dari KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang overtime work (kerja lembur, red.). Selain itu, ada kekeliruan dalam mengadministrasi atau pencatatan hasil pemilu sehingga menimbulkan sengketa pemilu," katanya.

Ia mengatakan kerja lembur yang dilakukan oleh KPPS mengakibatkan banyaknya anggota KPPS yang mengalami gangguan kesehatan dan banyak pula yang meninggal.

Secara nasional, kata dia, anggota KPPS yang meninggal dunia sebanyak 469 orang dan yang sakit 4.602 orang.

"Di Banyumas sendiri tercatat sebanyak enam anggota KPPS yang meninggal dunia dan 43 orang yang sakit," katanya.

Terkait dengan hal itu, dia mengatakan ada usulan perbaikan penyelenggaraan pemilu ke depan, yakni penyederhanaan sistem kepartaian dan sistem pemilu.

"Dalam hal ini, alokasi kursi per daerah pemilihan dikurangi 3-8 kursi atau 3-6 kursi dan dipertimbangkan untuk kembali pada sistem keterwakilan berimbang dengan daftar tertutup," katanya.

Selain itu, kata dia, meninjau kembali keserentakan pemilu dengan dipisahkan lagi antara pemilu eksekutif dan pemilu legislatif.

Menurut dia, KPU juga perlu memiliki pasukan siber (cyber troops) sebagai antisipasi serangan siber.

"Juga diperlukan adanya peningkatan anggaran untuk fasilitasi kampanye agar biaya kampanye peserta pemilu dapat seminim mungkin, termasuk biaya untuk para saksi," katanya.

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019