Ini kesempatan yang sangat baik bagi Myanmar untuk bisa menyampaikan posisi mereka atas apa yang terjadi di Rakhine State
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia mengapresiasi kehadiran Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dalam sidang dugaan genosida terhadap etnis minoritas Rohingya di Pengadilan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Den Haag, Belanda.

“Ini kesempatan yang sangat baik bagi Myanmar untuk bisa menyampaikan posisi mereka atas apa yang terjadi di Rakhine State,” kata Plt. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah di sela-sela acara peresmian Kedutaan Besar Guatemala di Jakarta, Selasa malam.

Dalam sidang yang bermula dari gugatan yang diajukan Gambia pada November lalu, Suu Kyi akan menjadi pembela atau penasihat hukum dari Myanmar sebagai tergugat.

Pemerintah Gambia mengajukan gugatan hukum ke pengadilan PBB terhadap dugaan pelanggaran hukum internasional, di antaranya Konvensi Penghapusan Genosida pada 1948. Gugatan Gambia menjadi kasus genosida ketiga yang diadili oleh pengadilan PBB sejak Perang Dunia Kedua berakhir.

Dalam sidang yang berlangsung selama tiga hari, Suu Kyi, peraih Nobel Perdamaian, diyakini akan kembali menyangkal tuduhan genosida terhadap kelompok etnis Rohingya karena menurut dia operasi militer yang berlangsung di Rakhine merupakan upaya penanggulangan teroris yang sah demi menghentikan aksi garis keras.

Baca juga: Indonesia tekankan pentingnya keamanan repatriasi Rohingya di Rakhine

Sidang pada pekan ini akan dipimpin secara kolektif oleh 17 hakim yang tidak akan membahas tuduhan utama mengenai genosida. Namun, Gambia telah meminta surat perintah pengadilan agar Myanmar menghentikan seluruh aktivitas yang memperkeruh konflik.

Gambia, sebagai penggugat, akan menjelaskan bahwa Myanmar telah meluncurkan aksi militer secara luas dan sistematis di bawah "operasi pembersihan" pada Agustus 2017 yang diduga menyebabkan pembantaian massal terhadap kelompok etnis Rohingya.

Dalam petisi yang diajukan Gambia, penggugat menduga Myanmar bertanggung jawab terhadap aksi genosida yang "ditujukan untuk menghancurkan/menghapus kelompok etnis Rohingya sebagai sebuah kelompok, secara keseluruhan atau dalam bagian tertentu, melalui pembantaian massal, perkosaan dan bentuk kekerasan seksual lain, termasuk penghancuran secara sistematis lewat pembakaran desa dengan penduduk yang terkunci di dalam rumah mereka".

Indonesia sendiri tidak memberikan pernyataan apapun terkait dugaan genosida ini, dan lebih memilih mencoba menjadi bagian dari solusi konflik kemanusiaan di Rakhine melalui kerangka bilateral maupun melalui ASEAN.

“Indonesia tidak dalam posisi mengomentari atau mengharapkan (apapun dari sidang ini). Kami melihat ini sebagai suatu proses yang dihadiri langsung oleh Aung San Suu Kyi, ini yang perlu kita hormati,” tutur Faizasyah.

Baca juga: Bertemu Suu Kyi, Presiden harap repatriasi di Rakhine State aman

Dilaporkan Reuters, lebih dari 730.000 warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah operasi militer berlangsung pada 2017. Mereka terpaksa menghuni kamp-kamp pengungsi di wilayah perbatasan dekat Bangladesh.

PBB mengatakan langkah pemerintah Myanmar di Rakhina dilakukan dengan "niat untuk genosida". Meskipun PBB telah berhenti menyebut aksi militer di Myanmar sebagai genosida, lembaga dunia itu mengatakan operasi militer di Myanmar telah berujung pada "penghapusan kelompok etnis" sehingga PBB pun menjatuhkan sanksi terhadap para pemimpin militer di negara tersebut.

Gambia, negara kecil dengan penduduk mayoritas Muslim di Afrika Barat, akan menyebut Myanmar gagal memenuhi syarat dan poin-poin persetujuan yang telah disepakati dalam konvensi.

Walaupun demikian, Pengadilan PBB atau Pengadilan Dunia tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, hasil vonis majelis hakim bersifat final dan punya pengaruh legal di komunitas internasional.

Baca juga: Suu Kyi undang investor ke Rakhine yang dilanda krisis
Baca juga: Pembela pembunuh pengacara Muslim di Myanmar beri argumen akhir
Baca juga: Amnesty International mencabut penghargaan HAM untuk Aung San Suu Kyi

 

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2019