Den Haag (ANTARA) - Peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi dijadwalkan membela Myanmar di Pengadilan Dunia pada Rabu, saat negaranya menghadapi dakwaan pemusnahan suku terhadap etnik minoritas Muslim Rohingya.

Gambia, negara kecil di Afrika Barat, telah melancarkan kasus terhadap Myanmar di Mahkamah Pidana Internasional (ICC), pengadilan tertinggi PBB, dengan menuduhnya telah melanggar Konvensi Jenewa 1948.

Suu Kyi, pemimpin politik tertinggi di Myanmar, mengejutkan pengeritik dan menghimpun pendukung di dalam negeri dengan pergi ke Den Haag, Belanda, untuk memimpin delegasi negerinya. Kantornya mengatakan ia "akan membela kepentingan nasional".

Suu Kyi mendengarkan dengan tenang pada Selasa (10/12), saat pengacara pihak Gambia merinci kesaksian grafis mengenai penderitaan orang Rohingya di tangan militer Myanmar.

Baca juga: Myanmar diadukan ke Mahkamah Internasional terkait genosida Rohingya

Dalam tiga hari proses dengar pendapat pekan ini, para hakim mendengarkan tahap pertama kasus tersebut: permintaan Gambia buat "tindakan sementara" --yang setara dengan perintah penahan diri terhadap Myanmar untuk melindungi penduduk Rohingya sampai kasus itu digelar secara penuh.

Walaupun Suu Kyi belum mengungkapkan perincian pembelaan pemerintahnya,dia dan tim hukumnya direncanakan menyampaikan pendapat bahwa pengadilan tersebut kekurangan jurisdiksi, dan pemusnahan suku tidak terjadi di Myanmar.

Gambia telah berargumentasi bahwa tanggung-jawab setiap negara lah berdasarkan Konvensi 1948 untuk mencegah terjadinya pemusnahan suku , demikian laporan Reuters --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu. Gambia mendapat dukungan politik dari Organisasi Kerja Sama Islam, serta beberapa negara Barat termasuk Kanada dan Belanda.

Lebih dari 730.000 orang Rohingya menyelamatkan diri dari Myanmar setelah militer melancarkan penindasan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar Barat, pada Agustus 2017. Kebanyakan dari mereka sekarang tinggal di kamp pengungsi padat penghuni di Bangladesh.

Myanmar berargumentasi "operasi pembersihan militer" di Rakhine adalah reaksi sah untuk "menindas terorisme", dan tentaranya "telah bertindak secara layak".

Jejak hukum bagi temuan pemusnahan suku tinggi. Cuma tiga kasus telah diakui berdasarkan hukum internasional sejak Perang Dunia II: Di Kamboja pada akhir 1970-an; Di Rwanda pada 1994; dan di Srebrenica, Bosnia, pada 1995.

Walaupun misi pencari fakta PBB mendapati bahwa kejahatan besar berdasarkan hukum internasional telah dilakukan di Myanmar dan menyerukan pengadilan pemusnahan suku, tak ada pengadilan yang memiliki bukti yang memberatkan dan menetapkan pemusnahan suku di Myanmar.

Ketika ditanya mengenai kemungkinan Suu Kyi dapat dengan tegas membantah kejahatan telah terjadi di Myanmar, Menteri Kehakiman Gambia Abubacarr Tambadou mengatakan di luar pengadilan pada Senin (9/12) bahwa "akan sangat mengecewakan jika ia melakukan itu lagi".

Sumber: Reuters

Baca juga: Indonesia apresiasi kehadiran Suu Kyi dalam sidang kasus genosida

Baca juga: Jelang sidang genosida, Rohingya berdoa dapatkan keadilan

Penerjemah: Chaidar Abdullah
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2019