Jayapura (ANTARA News) - Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) bukanlah tempat menerima dan menampung aspirasi sekelompok warga masyarakat Papua terkait persoalan disintegrasi bangsa dan negara Republik Indonesia, sehingga diharapkan para wakil rakyat Papua di lembaga legislatif itu tidak menerima siapapun atau kelompok manapun yang datang untuk membahas masalah itu. Hal itu disampaikan tokoh perempuan Papua, Heems Kirchkhe Bonay di Jayapura, Jumat, menanggapi upaya sekelompok warga masyarakat Papua dipimpin Buchtar Tabuni yang pada Kamis (16/10) berkumpul di kawasan Abepura, Kota Jayapura, untuk berpawai menuju Gedung DPRP di jantung Kota Jayapura guna menyampaikan aspirasi mereka yang kental dengan nuansa disintegrasi bangsa dan negara RI. "DPRP itu merupakan lembaga wakil rakyat milik Republik Indonesia yang bertugas antara lain menerima dan memperjuangkan aspirasi rakyat Indonesia yang bermukim di Provinsi Papua. Dengan demikian, lembaga ini hanya dapat menerima warga yang membawa aspirasi dalam bingkai NKRI, bukan lembaga yang menampung aspirasi kelompok yang ingin melepaskan Papua dari NKRI," tegas Heems. Apabila sekelompok warga masyarakat Papua yang menyebut diri sebagai "Internasional Parlement for West Papua" pada Kamis (16/10) berusaha mendatangi DPRP untuk menyampaikan aspirasi mereka seputar keinginan melepaskan diri dari NKRI, maka hal itu dinilai salah alamat karena DPRP adalah lembaga resmi milik rakyat Indonesia di tanah Papua. Dia berharap agar para anggota dan pimpinan DPRP tidak menerima kelompok warga tersebut karena mereka memiliki semangat yang berbeda dengan saudara-saudara mereka lainnya yang adalah warga negara Indonesia sejati. "Tidak semua aspirasi rakyat disampaikan dan di tampung di DPRP. Apabila DPRP menerima kelompok warga yang tidak setia pada NKRI, maka dikhawatirkan lembaga wakil rakyat ini akan dimanfaatkan kelompok itu untuk memperjuangkan lepasnya Papua dari NKRI," katanya. Sedangkan mengenai sejarah masuknya Papua ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi Indonesia, Heems Bonay mengatakan, sejak 1 Mei 1963, Papua sudah secara resmi diserahkan kembali ke pangkuan negara Republik Indonesia dan dikui secara syah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga keabsahan Papua sebagai bagian dari NKRI sudah tidak dapat diutak-atik lagi. "Kita tidak bisa menempatkan Papua saat ini dalam konteks tahun 1960-an ketika dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera untuk mengembalikan Papua ke dalam pangkuan NKRI. Jarum jam awal masuknya Papua ke dalam NKRI sudah tidak dapat diputar kembali keculi dengan nasionalisme yang berapi-api kita terus melanjutkan pembangunan untuk memperkuat pilar keutuhan Papua dalam bingkai NKRI," kata Heems. Indonesia, lanjut Heems, sudah punya pengalaman sangat pahit dengan lepasnya Timor Timur dari NKRI sehingga pengalaman pahit ini tidak akan mungkin terulang lagi di tanah Papua. Sampai titik darah penghabisan, seluruh bangsa Indonesia akan mempertahankan ketuhan Papua dalam NKRI. (*)

Copyright © ANTARA 2008