Kecelakaan yang paling banyak itu di perlintasan sebidang, bukan karena persinyalan yang sampai failed, itu hampir tidak ada
Saitama (ANTARA) - Ekor ular besi itu baru saja menghilang dari pandangan mata setelah “menelan” ratusan orang di sisi kanan perutrnya, namun tidak kurang dari dua menit kepalanya kembali muncul dari kejauhan.

Ular besi itu adalah kereta bawah tanah yang melintasi jalur Marunouchi Line, salah satu jalur yang dioperasikan oleh operator terbesar di Jepang, yakni Tokyo Metro di mana waktu kedatangannya (headway) hanya satu menit 50 detik.

Dalam sehari, Tokyo Metro bisa membawa 7,58 penumpang dan jika dibagi per detiknya mencapai rata-rata 110 penumpang yang diangkut.

Itu pun baru dari satu operator, belum lagi dari keseluruhan sebanyak 200 operator yang berperan dalam pergerakan kereta yang membelah kota-kota di Jepang setiap harinya.

Rapatnya pengoperasian itu bertujuan untuk mengakomodasi banyaknya orang yang harus diangkut, sebab hampir seluruh warga Jepang mengandalkan kereta perkotaan untuk mobiltas sehari-hari, terutama untuk bekerja.

Melihat kondisi tersebut, sistem persinyalan yang dibuat harus presisi, penuh kehati-hatian dan terstruktur, karena sedetik saja terdapat kesalahan akan mengacaukan pengoperasian kereta yang saling menyilang.

Nippon Signal merupakan salah satu perusahaan yang memainkan peranan penting dalam membuat sistem persinyalan agar terhindar dari keterlambatan, bahkan kecelakaan kereta.

Railway Infrastructure System Design Department Technology Division Nippon Signal Kuki Plant Takuya Wada menjelaskan salah satu sistem persinyalan yang diterapkan dalam perkeretaapian di Jepang adalah Communication-Based Train Control atau Sistem Kendali Berbasis Komunikasi.

Sistem CBTC merupakan sistem persinyalan dengan menggunakan gelombang radio, yakni 2,4 Giga Hertz sebagai komunikasi data antar berbagai subsistem yang terintegrasi.

Keunggulannya yakni menggunakan sistem moving block, sehingga posisi kereta bisa dideteksi secara real time. Ini yang menyebabkan keterlambatan serta kecelakaan bisa sangat terhindari.

Railway Infrastructure System Design Department Technology Division Nippon Signal Kuki Plant Takuya Wada menjelaskan sistem persinyalan yang diterapkan dalam perkeretaapian di Jepang, yakni Communication-Based Train Control atau Sistem Kendali Berbasis Komunikasi. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)

Sistem CBTC ini dapat membaca pergerakan kereta secara otomatis, sehingga bisa mengantisipasi keterlambatan dan tabrakan kereta, selain itu juga juga sangat aman meskipun tanpa masinis.

“Jadi, posisi kereta bisa dideteksi, terutama untuk menghindari keterlambatan dan kecelakaan tanpa harus dioperasikan oleh masinis,” kata Wada.

Sistem persinyalan dibagi menjadi empat bagian penting, yakni peralatan Automatic Train Supervisory (ATS) yang berada di Operation Control Center (OCC), peralatan Wayside di sepanjang jalur kereta, peralatan On Board yang berada di dalam kereta dan jaringan data komunikasi yang menghubungkan antara peralatan Wayside dengan On Board.

Cara kerjanya, peralatan On Board di dalam kabin masinis, lebih tepatnya Driver Machine Interface (DMI) memberikan fungsi untuk mengirimkan informasi ke CBTC System, kemudian informasi itu dibaca oleh perlatan Wayside yang dipasang sepanjang jalur kereta.

Informasi tersebut kemudian dikirim ke sistem ATS dan diteruskan ke OCC, sehingga bisa langsung dikendalikan oleh OCC.

Sistem CBTC juga diterapkan oleh Nippon Signal di MRT Jakarta sebagai teknologi baru yang dapat menjamin keselamatan dan kenyamanan.

Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta Muhammad Effendi mengatakan saat ini pihaknya masih menggunakan masinis karena masyarakat Indonesia kebanyakan masih khawatir dengan pengoperasian kereta yang tanpa masinis.

“Kita punya signaling CBTC, jadi bukan dikontrol oleh masinis melainkan oleh OCC yang berada di Depo Lebak Bulus, fungsi masinis di sini hanya untuk penanganan keadaan darurat,” ujarnya.

Chief Executive Manager Nippon Signal Kuki Plant Hiroyuki Mikuni mengaku senang teknologi yang dikembangkan bisa diterapkan dalam pengoperasian MRT Jakarta saat ini.

“Saya senang MRT Jakarta akhirnya beroperasi di Indonesia, saya sangat mendukung. Ini juga membuktikan bahwa produk kami aman dan kredibel,” ujarnya.

Sistem persinyalan di jalur kereta Tokyo Metro, Jepang. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)

Penanganan Kondisi Darurat

Nippon Signal juga telah mempersiapkan kondisi darurat, seperti halnya padamnya aliran listrik di mana sistem CBTC secara otomatis akan menghentikan pengoperasian kereta, di mana itulah yang dianggap paling aman karena memberikan kesempatan untuk mengevakuasi penumpang terlebih dahulu.

“Kita juga memasang Uniterruptible Power Supply (UPS) ketika kondisi listrik mati dan persinyalan mengatur sedemikian rupa untuk memberhentikan kereta dan back up selama 30 menit,” katanya.

Waktu 30 menit itu yang diberikan untuk back up persinyalan, bukan untuk back up listrik yang digunakan untuk pengoperasian kereta sebagaimana kontrak dengan seluruh operator kereta di dunia.

Namun Mikuni mengakui bahwa pihaknya belum pernah mengalami mati listrik total (black out) di Jepang seperti yang terjadi di Indonesia pada 4 Agustus 2019 lalu di mana listrik seluruh Pulau Jawa padam, termasuk juga untuk pengoperasian MRT Jakarta.

“Kami belum pernah mengalami hal itu karena di Jepang dalam jangka waktu 90 tahun belum pernah mati listrik,” katanya.

Meskipun kereta telah dilengkapi baterai cadangan seperti yang diterapkan oleh operator Tokyo Metro, Mikuni mengatakan langkah paling aman ketika listrik mati adalah menghentikan seluruh operasi, baru setelah itu bisa mengambil tindakan selanjutnya.

Director International Relations Department Corporate Planning Headquarters Tokyo Metro Naoto Kimura mengatakan pihaknya telah memasang baterai jenis Lithium Ion di beberapa kereta untuk mengantisipasi kejadian darurat tersebut.

“Sampai saat ini kami belum menggunakannya, meskipun telah dipasang di kereta karena Jepang belum pernah mengalami mati listrik lagi, sehingga kami belum mengetahui persis ketahanan baterai itu berapa lama,” katanya.

Maket persinyalan kereta di perlintasan sebidang yang bisa dioperasikan sesuai situasi sebenarnya di Kantor Pusat Nippon Signal Kuki Plant, Saitama, Jepang. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)
Risiko Kecelakaan

Dengan adanya sistem persinyalan yang canggih, bukan berarti kereta sama sekali terhindar dari kecelakaan.

Wada mengatakan kecelakaan yang terjadi lebih dikarenakan tidak disiplinnya pengemudi di perlintasan sebidang, seperti mobil yang menyerobot jalur kereta.

“Kecelakaan yang paling banyak itu di perlintasan sebidang, bukan karena persinyalan yang sampai failed, itu hampir tidak ada,” katanya.

Hampir seluruh operator kereta di Jepang meggunakan sistem persinyalan yang dibuat oleh Nippon Signal, baik untuk kereta perkotaan seperti Tokyo Metro dan Japan Railways (JR) juga Shinkansen, yakni Tokaido Shinkansen, Sanyo Shinkansen, Kyushu Shinkansen, Tohoku Shinkasen, dan Taiwan Shinkansen.

Selain ke Indonesia, sistem persinyalan itu juga sudah diterapkan di berbagai negara seperti Argentina, Turki, China, dan lainnya. Sejak 30 tahun terakhir pihaknya mulai berekspansi.

Selain sistem persinyalan, Nippon Signal juga sudah mengembangkan sejumlah produk, seperti sistem lampu lalu lintas, sistem pembayaran parkir otomatis, pembayaran jalan tol (ETC), vending machine, gate untuk tiket kereta serta perkantoran.

Baca juga: Di balik pengoperasian "subway" Jepang yang padat namun aman

Baca juga: Jepang ternyata pernah alami "Commuter Hell"


Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019