Jakarta (ANTARA/JACX) - The Wall Street Journal (WSJ), media ekonomi dan bisnis asal AS, mempublikasikan sebuah tulisan yang lantas menjadi pembicaraan ramai di media jejaring sosial Tanah Air.

"Bagaimana China membujuk satu negara Muslim agar tetap diam pada penampungan Xinjiang," demikian satu kalimat dalam artikel yang dimuat pada 11 Desember 2019 itu.

Dalam sub-judulnya, artikel itu menyebutkan, "Beijing mendanai kunjungan para pemimpin agama Indonesia untuk menunjukkan bagaimana pusat-pusat pendidikan ulang merupakan sebuah upaya yang dimaksudkan untuk memberikan pelatihan kerja kepada warga Uighur."

Artikel tersebut lantas menjadi persoalan akibat mengandung pesan organisasi Islam di Tanah Air, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), mempunyai perubahan pandangan sikap terhadap China setelah mengunjungi langsung Xinjiang.

"Pandangan di Indonesia berubah. Seorang ulama senior Muhammadiyah yang mengikuti tur itu telah dikutip dalam majalah resmi internal, mengatakan sebuah kamp yang dikunjunginya sangat bagus, mempunyai ruang kelas yang nyaman, dan tidak seperti penjara," demikian artikel itu.

Kalimat itu dilanjutkan dengan kalimat lain yang mengandung wacana penyuapan dari China yaitu, "Upaya China untuk membentuk opini --yang didukung oleh sumbangan dan dukungan finansial lainnya-- telah membantu menumpulkan kritik atas perlakuan mereka terhadap Uighur oleh negara Muslim terbesar--berbeda dengan kecaman keras dari AS dan negara-negara Barat lainnya."

Artikel WSJ itu pun menyudutkan Muhammadiyah, selain NU, sebagai organisasi Islam yang dapat disuap oleh China agar tidak memberikan kritik yang dialami warga Uighur di Xinjiang.

Baca: Dubes AS ke Muhammadiyah bahas Xinjiang

Penjelasan

Atas wacana penyuapan dari China dalam artikel WSJ itu, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas langsung membantah dan menjelaskan sikap organisasinya, termasuk organisasi-organisasi dan lembaga Islam di Indonesia atas isu Uighur di Xinjiang.

"China menyuap MUI, NU, dan Muhammadiyah? Bagaimana caranya mereka menyuap ketiga organisasi tersebut," kata Anwar Abbas.

Anwar justru menegaskan, "Apakah dengan mengundang tokoh-tokoh dari ketiga ormas ke Uighur China lalu ketiga ormas itu akan melemah kepada pemerintah China? Tidak."

Sementara, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyesalkan pemberitaan WSJ yang menyebutkan adanya fasilitas dan lobi-lobi China untuk mempengaruhi ormas Islam di Indonesia agar melunak atas persoalan kemanusiaan etnis Uighur.

"Pemberitaan tersebut sangat tidak berdasar dan fitnah yang merusak nama baik Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia," kata Mu'ti. Dia menyesalkan pemberitaan WSJ yang menyebutkan adanya fasilitas dan lobi-lobi China untuk mempengaruhi ormas Islam di Indonesia agar melunak atas persoalan kemanusiaan etnis Uighur.

"Pemberitaan tersebut sangat tidak berdasar dan fitnah yang merusak nama baik Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia," kata Mu'ti dalam konferensi pers yang diikuti ANTARA di Jakarta, Senin (16/12).

Ketua Biro Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah Muhyiddin Junaidi mengatakan organisasinya tidak menerima suap dalam bentuk apapun dari pemerintah China.

Muhyiddin mengatakan dalam kunjungan Muhammadiyah, NU dan MUI ke Xinjiang pada Februari 2019 menemukan sejumlah kejanggalan soal kondisi beragama di kawasan yang mayoritas dihuni etnis Uighur.

Klaim: Muhammadiyah terima suap dari China karena isu Uighur?
Rating: Salah/Disinformasi

Baca: Pemerintah Xinjiang nyatakan dokumen yang bocor tentang Uighur palsu
Baca: Dubes AS minta PBNU juga soroti muslim Xinjiang

 

Pewarta: Tim JACX ANTARA
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2019