Kalau ada pembengkakan di puskesmas akan diberikan semacam analgesik, antihistamin dan obat lainnya. Tapi jika sudah ada pada fase sistemik maka dari perawat dan bidan akan melakukan tindakan lanjutan agar tidak sampai menimbulkan kematian
Cikarang, Jawa Barat (ANTARA) - Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, meminta warganya waspada setelah salah seorang warganya tewas karena sengatan lebah predator Vespa afiinis atau lebih dikenal dengan sebutan tawon ndas. 

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi Irfan maulana mengatakan pihaknya akan membuat surat edaran kepada setiap Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan rumah sakit terkait sengatan lebah itu.

"Sedang kami buat dan segera di edarkan agar langsung ditangani secara serius," katanya di Cikarang, Jawa Barat, Rabu.

Baca juga: Pria lanjut usia di Bekasi tewas disengat tawon

Menurut dia, warga Bekasi tidak perlu khawatir karena sengatan tawon ndas mayoritas bisa sembuh. Jika berdampak fatal biasanya terjadi komplikasi akibat reaksi anafilaktik. 

Jika sudah begitu, wajib waspada jika tidak kunjung sembuh dalam waktu 24 jam atau terjadi reaksi yang makin berat semisal nyeri, demam dan sesak. Perlu diketahui sejauh mana fase sengatan tersebut terjadi, apakah fase lokal atau fase sistemik.

Fase lokal ditandai adanya bengkak dan nyeri kemerahan. Jika masuk fase ini pertolongan pertama adalah dengan mengompres menggunakan es batu atau air dingin untuk mengurangi pembengkakan, namun jika  pembengkakan semakin besar dan menyebar maka perlu dibawa ke pusat kesehatan terdekat.

"Kalau ada pembengkakan di puskesmas akan diberikan semacam analgesik, antihistamin dan obat lainnya. Tapi jika sudah ada pada fase sistemik maka dari perawat dan bidan akan melakukan tindakan lanjutan agar tidak sampai menimbulkan kematian," ujar dia.

Baca juga: Tawon ndas di Bekasi sengat tiga orang selama sepekan

Irfan menjelaskan masyarakat masih menganggap sengatan tawon adalah hal yang biasa sehingga penanganan serangan tawon kadang terlambat padahal hingga saat ini belum ada obat yang bisa mengobati atau antivenom dari sengatan.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Sri Enny Mainiarti mengatakan tawon ndas merupakan tawon yang berbahaya dan mampu menyebabkan kematian. Untuk itu warga Bekasi diminta untuk waspada dan segera menghubungi petugas.

Tawon ini mempunyai ciri-ciri fisik seperti mempunyai ukuran tubuh sekitar tiga sentimeter, didominasi warna hitam dengan belang warna kuning atau oranye pada bagian perut, ujung tubuhnya berbentuk lancip, bagian inilah yang akan menyengat korban hingga berujung kematian.

Jika tidak cepat dilakukan pertolongan sengatan tawon ini dapat mengakibatkan korban meninggal dunia. Hal ini terjadi apabila jumlah sengatan cukup banyak dan korban mempunyai sensitif atau alergi terhadap racun (venom) sengat namun apabila jumlah sengatannya sedikit korban hanya akan mengalami bengkak pada tubuhnya.

Enny menjelaskan penanganan untuk luka bengkak dapat dilakukan dengan mengompres tubuh menggunakan es, atau mengobatinya dengan obat-obatan antihistamin dan corticosteroid.

Baca juga: Dosen Unud latih peternak olah limbah propolis lebah jadi sabun wangi

Apabila terkena sengatan tawon vesva afiinis harus segera melakukan penanganan yang tepat sebab tindakan yang terlambat dapat mengakibatkan racun dari sengatan merusak organ tubuh seperti edema paru akut dan gagal ginjal dalam hitungan hari.

"Sengatan tawon pertama akan merangsang tawon lainnya untuk mengeluarkan feromon atau senyawa yang dapat memicu kelompok tawon ndas ikut menyerang," katanya.

Apalagi tawon ndas mempunyai kemampuan memanggil kawanannya untuk melakukan serangan balik. Tawon vespa afiinis biasanya akan menyerang ketika merasa terganggu atau terancam.

"Untuk itu, masyarakat dilarang mengevakuasi sarang sendiri dan segera laporkan kepada petugas," katanya.

Baca juga: Penemuan kembali lebah raksasa Megachile pluto jadi harapan baru
Baca juga: Studi: penglihatan lebah bisa ubah cara drone melihat dunia


 

Pewarta: Pradita Kurniawan Syah
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2019