Temanggung (ANTARA) - Ketua Lingkar Studi Pemberdayaan Pedesaan Andrianto menanyakan keabsahan peraturan yang dikeluarkan oleh Direksi Perum Perhutani terkait dengan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM).

"Apakah Surat Keputusan (SK) Direksi Perhutani memiliki keabsahan atau legalitas secara hukum?" katanya pada peluncuran dan bedah buku "Mencegah Kerugian Negara Masyarakat dan Kerusakan Lingkungan" di Pendopo Pengayoman Temanggung, Rabu.

Dari hasil pemantauan LSPP dan beberapa pihak, sejak 2015 pihaknya mendalami soal kebijakan dari Perum Perhutani.

"Di sini kami mencoba menimbang keabsahan regulasi atau peraturan PHBM Perhutani," katanya.

Baca juga: Dedi Mulyadi: Pengelolaan hutan oleh masyarakat adat adalah keharusan

Baca juga: KLHK diminta kolaborasikan kearifan lokal dalam kelola lingkungan


Andrianto menyampaikan sebagai informasi sejak 2001 sampai 2012 tercatat ada 5.278 desa hutan atau sekitar 97 persen dari desa hutan di Pulau Jawa dan Pulau Madura sudah bekerja sama melalui program PHBM.

"Nah, untuk mengatur PHBM ini, Direksi Perhutani menerbitkan pedoman pelaksanaan PHBM ada tiga keputusan direksi," katanya.

Ia menyebutkan pertama SK Direksi Perhutani Nomor 400 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Perhutani, kedua SK Direksi Perhutani Nomor 682 tentang Pedoman PHBM, dan ketiga SK Direksi Perhutani Nomor 436 tentang Pedoman Berbagi Hasil Usaha Hasil Hutan Kayu.

"Apakah tiga SK yang mengatur PHBM yang dikeluarkan oleh direksi Perhutani memiiliki keabsahan atau legalitas secara hukum?" katanya.

Andrianto mencoba memberikan parameter untuk melihat keabsahan dari SK Direksi Perhutani tersebut.

Parameter pertama apakah SK Direksi Perhutani termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, kemudian apakah SK tersebut memiliki kedudukan hukum dan kewenangan menerbitkan peraturan untuk mengatur PHBM, dan substansi keputusan Direksi Perhutani sesuai dengan asas-asas hukum.

"Ini tiga parameter LSPP untuk melihat, mengukur, dan menimbang keabsahaan dari keputusan dari Perhutani," katanya.

Baca juga: Masyarakat adat protes ke Dinas Kehutanan Papua

Baca juga: Belajar pengelolaan hutan, Pemerintah Mozambik-FAO datang ke Sulteng

Baca juga: Pemerintah setop pemberian izin kelola baru di hutan primer dan gambut


Andrianto menuturkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan yang tertinggi adalah Undang-Undang Dasar, kemudian ketetapan MPR, peraturan pemerintah penganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan makin ke bawah ada peraturan presiden, peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota.

Ia menyampaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut tampaknya keputusan direksi Perhutani tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sehingga kekuatan hukumnya patut dipertanyakan. ***2***

Pewarta: Heru Suyitno
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019