Oleh John Nikita S. Pontianak (ANTARA News) - Meski usianya sudah 60 tahun dan berstatus janda, Minah tetap setia menanti pendatang yang masuk ke wilayah RI di Entikong, Kalimantan Barat, berharap ada pelintas batas yang menawar jasanya untuk membawakan barang. "Beginilah kerja saya setiap hari," kata ibu lima anak dan nenek dari empat cucu tersebut, ketika dijumpai sedang beristirahat di dekat prasasti perbatasan RI-Malaysia. di "free zone" (daerah bebas) garis perbatasan kedua negara, beberapa waktu lalu. Ia mengaku tidak puinya pekerjaan lain, kecuali berharap ada pendatang yang berbaik hati menggunakan jasanya untuk sekadar membawakan barang dalam tas plastik atau tas model ransel., dengan upah satu ringgit atau Rp3.000 per barang. "Upahnya tak tergantung berat, terserah kerelaan yang mau memberi saja. Ibu tak pernah meminta," katanya. Setiap hari, sejak pagi hingga petang, Minah selalu berada di tempat itu, meskipun penghasilannya tidak menentu bahkan sesekali harus pulang dengan tangan hampa. Tinggal di dusun Balai Karangan IV, Kecamatan Sekayang, Kabupaten Sanggau, Minah hanya mengandalkan kartu pelintas batas dalam bekerja. Dengan kartu itu, ia bebas masuk ke wilayah Tebedu, Serawak, Malaysia dan kembali masuk ke wilayah RI di Entikong. Petugas keamanan di pos Tebedu pun tidak peduli saat Minah melintas masuk atau keluar dari wilayah negara mereka. Tampaknya mereka sudah mengaenali sekali siapa dan apa pekerjaan wanita tua bertubuh kurus ini. "Ayo, kalau mau difoto biar saya jalan dari wilayah sana," katanya sambil tersenyum dan menunjukkan jari ke arah pos Tebedu. Minah barangkali bisa disebut potret masyarakat tertinggal di wilayah perbatasan RI-Malaysia, meliputi beberapa kabupaten termasuk Sintang, Sambas, Bengkayang, Sanggau dan Kapuas Hulu. Namun, kesetiaan wanita tua ini kepada Tanah Air perlu diacungi jempol. Betapapun, Minah berbeda bila dibandingkan mereka yang terlibat penyelundupan gula atau kayu, yang hingga kini belum dapat diberantas. Dalam kesempatan menyerahkan Mobil Pintar dan bantuan bibit pertanian kepada warga perbatasan, Gubernur Kalimantan Barat, Drs Cornelis MH, mengemukakan adanya sebagian warga yang masih tertinggal, belum sejahtera hidupnya. "Kita ingin masyarakat perbatasan sejahtera, tidak kalah dengan (masyarakat di) Tebedu, Serawak. Jangan lagi ada penyelundup gula atau yang jadi askar di sana," katanya. Ia mengatakan pula, pemberian delapan Mobil Pintar kepada warga masyarakat di Sanggau, Sambas, Bengkayang dan Kapuas Hulu merupakan komitmen pemerintah pusat untuk mencerdaskan bangsa. Selain mobil yang merupakan perpustakaan berjalan yang dikelola oleh SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu), pemerintah juga telah membangun 58 gedung SMP Negeri di berbagai kecamatan yang ada di daerah perbatasan. Acara peresmian dilakukan Cornelis pada saat bersamaan dengan penyerahan Mobil Pintar dan bantuan bibit pertanian. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kalbar, Ngatman, pemerintah juga akan membangun 71 gedung SMP Negeri sebagai tambahan di wilayah perbatasan, untuk mewujudkan program wajib belajar sembilan tahun. "Kita kekurangan gedung SMP," katanya. Mobil Pintar sudah diberikan, Rumah Pintar pun sedang dibangun dan dijadwalkan selesai tahun depan. Ekonomi masyarakat juga sedang coba dibangun dengan pemberian bantuan bibit kepada petani. Untuk mewujudkan masyarakat di wilayah perbatasan yang sejahtera, maka masih memerlukan waktu. Pada masa penantian itu, Minah tetap setia pada profesinya sebagai kuli barang. "Saya akan tetap bekerja seperti ini," katanya. Selain kemiskinan dan fenomena penyelundup yang merugikan negara, jiwa setia kepada Republik Indonesia yang dimiliki warga seperti Minah juga menghadapi tantangan lain. Satu di antaranya adalah godaan menjadi tentara asing yang muncul di tengah kehidupan generasi muda wilayah tapal batas. Bukan lagi bekerja biasa sebagai TKI di negeri jiran, generasi muda di lima kabupaten daerah perbatasan juga tidak sedikit teriming-iming menjadi "tentara bayaran". Bila Inggris memberlakukan UU yang membolehkan bangsa itu menyewa legiun asing seperti Tentara Gurka, Malaysia sebagai negara bekas koloninya pun bisa membentuk serdadu bayaran yang dikenal sebagai Askar Wataniah, dan tidak sedikit yang berasal dari Indonesia. Jumlah serdadu asal Indonesia di satuan penjaga perbatasan Malaysia itu sendiri bisa mencapai ribuan orang. "Mereka ada di tiga pos. Setahu saya jumlahnya mencapai 3.300 orang, 60 persen di antaranya warga Indonesia," kata Yusdakai, Komandan Batalion Resimen Khusus Yudha Putra binaan TNI yang bertugas di daerah perbatasan RI-Malaysia. Ia ditemui ketika bersama puluhan anggota resimennya ikut membantu pengamanan kunjungan kerja Gubernur Cornelis di Entikong, Jumat. Menurut pria berbadan tegap dengan sejumlah tatoo di kedua lengannya itu, Askar Wataniah sudah lama ada tetapi isunya baru muncul beberapa tahun lalu. "Resimen kami sudah lama tahu ada kegiatan perekrutan pemuda Indonesia untuk dijadikan askar di Malaysia," katanya. Ia juga mengaku, pernah mengantarkan sejumlah wartawan dan kru sebuah stasiun televisi nasional ke beberapa pos askar tersebut di Serawak. "Saya bisa karena sebelumnya saya sudah beberapa kali menyamar dan berhasil menyusup ke sarang mereka. Saya juga tahu mereka digaji 1.200 ringgit se bulan, tetapi hanya untuk lima tahun. Pemerintah negara tetangga kita ni selalu meregenarasi serdadu asingnya," katanya dalam aksen Melayu. Yusdakai mengungkapkan, Malaysia membentuk Askar Wataniah dan merekrut warga asing untuk dijadikan serdadu karena kekurangan SDM. "Hanya saja, disinyalir cara perekrutan yang dilakukan tidak sehat gitu loh. Saya lihat mereka menjebak pekerja asing termasuk dari Indonesia dalam masalah ijin tinggal. Setelah ditangkap, para pekerja itu hanya diberi dua pilihan, mau dipenjara lalu menunggu waktu dideportasi atau dijadikan askar dengan gaji uang ringgit?," katanya setengah emosi. Ia juga mengatakan, para askar diberikan tanda pengenal sementara atau biasa disebut ID Merah, berlaku selama lima tahun. Selama bertugas mereka bukan hanya disuruh jaga perbatasan, tetapi juga kerja kasar seperti menggali, meratakan tanah dan sebagainya. Untuk mengurangi arus pemuda Indonesia yang "membelot" menjadi serdadu bayaran di Serawak, Resimen Yudha Putra sering melakukan patroli di daerah sepanjang garis batas dan memberikan pembinaan semangat bela negara (nasionalisme) kepada generasi muda. "Kita ini kan bukan tentara, tetapi memang disebut pasukan cadangan yang berada di garda paling depan," kata Bintang Lubis. Wanita berambut panjang sepinggul itu merupakan anggota Resimen Khusus Yudha Putra yang bertugas sebagai penyuluh. Meski sering tersenyum, postur tubuhnya yang tegap terbungkus seragam loreng, yang "beda-beda tipis" dibandingkan loreng Pasukan Angkatan Darat TNI, tak mampu menyembunyikan kegarangan di balik sosoknya sebagai kaum Hawa. "Ya, latihan kita seperti TNI sih," katanya sambil tersenyum. Menurut penuturan Bintang, resimen di mana ia bergabung selama ini bertugas memberikan penyuluhan dan merekrut pemuda-pemuda di daerah perbatasan menjadi anggota. "Sekarang anggota resimen Yudha Putra lebih dari 6.000 orang, dan kita berharap terus bertambah," katanya. Ia berpendapat, dengan menanamkan dan menumbuhkan semangat nasinalisme, diharapkan tidak akan ada lagi warga negara Indonesia yang melintas batas untuk menjadi serdadu asing. Namun, itu semua harus dibarengi upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warga di daerah-daerah terpencil. Diakuinya, upaya pemerintah meningkatkan taraf hidup segenap anak bangsa. termasuk warga di perbatasan Kalimantan Barat-Serawak, memang tidak bisa secepat membalikkan telapak. Selama menanti tibanya kesejahtera itu, setiap anak bangsa diharapkan terus bekerja dan membantu pemerintah dalam mewujudkan cita-cita nasional, yakni menciptakan masyarakat adil dan makmur. Minah dan Bintang sama-sama perempuan, meski yang satu sudah tua sedangkan yang satunya masih muda. Penampilan Minah sebagai kuli jinjing yang telah tua dan lama menjanda pun berbeda sekali dibandingkan dengan "tongkrongan" Bintang Lubis. Tapi, kedua perempuan itu sama-sama memiliki kecintaan besar kepada Tanah Air. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008