Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI, Farah Putri Nahlia mengkritisi belum adanya aturan spesifik dan komprehensif yang mengatur tugas perbantuan militer secara holistik dalam memberikan keamanan tanpa berbenturan dengan undang-undang berlaku.

"Aturan yang mengatur tugas perbantuan TNI sangat diperlukan agar ada legalitas pelibatan militer dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP)," kata Farah saat diskusi publik bertajuk Peran Internal Militer Problem Tugas Perbantuan TNI yang diselenggarakan oleh Imparsial bekerjasama dengan Universitas Paramadina di Kampus Paramadina Graduate School, Jakarta, Senin.

Baca juga: Wamenhan: Konsep bela negara bagi milenial tengah dikaji

Baca juga: RUU PSDN disahkan, sistem pertahanan negara makin kuat

Baca juga: Anggaran pertahanan negara diminta tak dimaknai alutsista saja


Ia menyebutkan, pelaksanaan agenda reformasi sektor keamanan yang digulirkan sejak tahun 1998 telah menghasilkan sejumlah capaian yang positif dalam pengaturan aktor keamanan di Indonesia.

Salah satunya adalah terkait pengaturan tentang kedudukan, tugas dan fungsi TNI dan Polri untuk diselaraskan dengan tata nilai, norma dan aturan hukum negara demokrasi.

"Berdasarkan regulasi yang ada, tugas dan fungsi keduanya telah dibedakan di mana Polri bertanggungjawab atas penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, perlindungan dan pengayoman masyarakat, sedangkan TNI berfungsi sebagai alat pertahanan negara," tuturnya.

Namun, proses agenda reformasi sektor keamanan sampai saat ini masih menyisakan sejumlah agenda legislasi yang belum terselesaikan. Salah satunya berkaitan dengan pengaturan tugas perbantuan militer.

Lulusan magister Politik Hubungan Internasional di Royal Holloway Universitas London ini mengingatkan bahwa keharusan untuk membuat aturan tentang tugas perbantuan militer ditegaskan dalam TAP MPR No VII/2000.

Pasal 4 TAP MPR No VII/2000 menjelaskan tugas perbantuan militer meliputi: pertama, tugas TNI membantu penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan (civic mission); kedua, tugas TNI memberi bantuan kepada Polri dalam rangka tugas keamanan, atas permintaan yang diatur dalam undang-undang; dan ketiga, tugas TNI membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia (peace keeping operation) di bawah bendera PBB.

"UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI maupun UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri juga telah memandatkan kepada pemerintah agar membuat aturan hukum tentang tugas perbantuan," kata Farah.

Namun demikian, sejak kedua Undang-undang tersebut diberlakukan, pemerintah hingga kini belum juga membentuk aturan yang spesifik dan komprehensif tentang tugas perbantuan militer tersebut.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menjelaskan, di tengah adanya kekosongan aturan hukum tersebut, justru berkembang aturan-aturan hukum parsial yang mengatur tentang tugas perbantuan militer.

Misalnya adalah Inpres No 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri, UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, serta berbagai Memorandum of Understanding (MoU) antara TNI dengan berbagai kementerian dan instansi lainnya.

"Dari segi hukum, pengaturan perbantuan militer yang bersifat parsial itu tidak selaras dengan undang-undang lain. Misalnya, pengaturan perbantuan militer melalui MoU yang tidak didasari keputusan politik negara jelas bertentangan dengan UU TNI. Pasal 7 Ayat (3) UU TNI menegaskan bahwa untuk menjalankan operasi militer selain perang maka dibutuhkan keputusan politik negara," papar Farah.

Di sisi lain menurut Farah, pada tataran praktik, perluasan peran militer di luar perang yang dilakukan secara berlebihan dikhawatirkan akan mengganggu profesionalisme militer itu sendiri untuk menjalankan fungsi pertahanan.

"Untuk itu, pembentukan regulasi yang komprehensif tentang perbantuan militer harus menjadi agenda legislasi prioritas bidang keamanan ke depan. Meski demikian, pengaturan tentang tugas perbantuan militer itu perlu dilakukan secara hati hati dan cermat dengan memperhatikan prinsip prinsip kehidupan negara demokrasi," ucap salah satu politisi termuda DPR asal Fraksi PAN ini.

Selain Farah, hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini Gubernur Lemhannas Letjen Purn TNI Agus Widjojo, Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam, dan Direktur Imparsial Al Araf.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019