Layaknya atlet catur dan bridge, atlet pro esport juga dituntut memiliki taktik, strategi hingga kemampuan analisa yang tak hanya mendalam, tapi juga cepat dalam mengambil keputusan.

Baca juga: Haornas 2019 soroti posisi esport dalam wacana keolahragaan nasional

Meski begitu, ada masalah lain yang tak kalah fundamental yang disoroti dalam simposium tersebut, yakni apakah esport bisa dikatakan sebagai olahraga ketika dalam praktiknya hanya melibatkan gerakan tangan.

Pakar keilmuan olahraga Adang Suherman mengatakan, hingga saat ini belum ditemukan elemen penting yang mendukung esport sebagai olahraga karena minimnya kegiatan fisik yang dilakukan. "Benar ada gerakan tangan namun masih diperlukan data empiris yang dikaji dalam perspektif tertentu termasuk tuntutan aktivitas fisik minimal dari WHO," kata Adang.
 
Peserta berkonsentrasi saat mengikuti pertandingan Grand Final UniPin eSport Southeast Asia Cyber Arena (SEACA) 2019  di Jakarta, Jumat (8/11/2019). Grand Final UniPin eSport Southeast Asia Cyber Arena (SEACA) 2019 yang berlangsung hingga Minggu (10/11) tersebut diikuti 66 tim yang berasal dari 24 kota/kabupaten di Indonesia dan negara di Asia Tenggara. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.

Namun Adang tak menampik bahwa esport mempunyai potensi luar biasa kaitannya dengan ladang perputaran uang yang besar bagi bisnis gim dan penopangnya.

Tidak berhenti di situ. Hasil kajian tersebut akhirnya menuai hasil. Sekretaris Kemenpora Gatot S. Dewa Broto pernah menyatakan bahwa pihaknya tengah menyusun peraturan menteri terkait esport.

Baca juga: Peraturan menteri soal esport rampung sebelum SEA Games 2019

Selanjutnya Peraturan menteri ...

Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2019