Jakarta (ANTARA News) - Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa reformasi yang bergulir di Indonesia sejak 10 tahun silam telah membuahkan banyak kontribusi kepada masyarakat dan salah satu diantaranya adalah kebebasan pers. Adanya kebebasan pers di era reformasi dan demokratisasi itu telah berdampak pula pada meningkatnya volume dan keragaman informasi melalui media massa. Di saat yang sama, dengan adanya globalisasi yang dengan deras melanda seluruh dunia, persaingan antarmedia juga semakin tajam, termasuk di dalamnya Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA yang selama ini menjalankan fungsi melayani surat kabar sebagai sumber informasi untuk memenuhi hajat kebutuhan informasi publik. Persaingan saat ini tidak hanya dengan media-media domestik yang selama ini menjadi pelanggan kantor berita tersebut, tetapi juga dengan kantor-kantor berita transnasional yang tidak lagi bisa dihambat dengan peraturan. Dengan dalih globalisasi dan tekanan-tekanan liberalisasi, tidak ada lagi monopoli akan informasi dan asing dapat membuka perwakilan yang langsung melayani seluruh pengguna informasi mereka (end user). Akan tetapi masih menjadi pertanyaan, apakah dengan meningkatnya volume dan keragaman informasi media massa itu kebutuhan informasi masyarakat sudah terpenuhi?. Menurut praktisi pers yang juga Pemred Tempo, Thoriq Hadad, dengan adanya ledakkan berita dalam jumlah besar dan semuanya bisa dengan mudah diakses publik, maka yang terjadi adalah "polusi" informasi. "Kalau kita pergi ke sebuah kios, kita akan bingung media mana yang akan diambil. Ada begitu banyak tawaran, begitu banyak koran dan majalah. Hasilnya orang agak bingung dalam memilih," ujarnya. Oleh karena itu, masyarakat kemudian membutuhkan berita-berita yang lebih obyektif dan argumentatif. Publik membutuhkan tidak lagi sekedar informasi, melainkan klarifikasi. Dalam konteks ANTARA, menurut pakar komunikasi UI, Effendi Ghazali, kalau kantor berita itu ingin menyebut dirinya menjadi bagian dari institusi publik, maka publik pun mempunyai hak untuk mengetahui akuntabilitasnya. "Publik akan menuntut kinerja ANTARA sebesar dana yang dikucurkan pemerintah kepadanya," ujarnya. Dalam pandangan Effendi Ghazali, memang ada sejumlah alasan lembaga ini mendapatkan dana dari pemerintah, melalui skema public service obligation (PSO), yakni karena adanya romantisme sejarah yang ditandai dengan catatan-catatan sejarah pers yang berkorelasi langsung dengan sejarah Indonesia. Di samping itu juga karena adanya faktor tanggungjawab sosial yang harus diemban ANTARA dan itu sangat erat kaitannya dengan akuntabilitas. Alasan lainnya adalah ANTARA memberikan layanan data cepat saji (real time) yang dipersembahkan buat pengguna informasinya, baik di dalam maupun luar negeri. "Karena ANTARA memperoleh dana dari publik dan mengandalkan data cepat, maka kedepan, ada bagian lain dari Antara yang bisa diakses publik secara mudah," ujar Effendi Ghazali. "G"Go Retail" Pada saat yang sama, revolusi teknologi informasi telah mengimbas pada perubahan dahsyat dalam format media berita (news media). Masyarakat yang awalnya hanya bisa mengenal surat kabar untuk memperoleh informasi, maka dengan adanya perkembangan zaman, untuk memperoleh informasi itu kini bisa melalui radio, televisi dan internet. Bahkan surat kabar dimasa mendatang telah berada diambang kepunahan pasca bangkitnya media baru dan pesatnya perkembangan teknologi informasi. Televisi dan media penyiaran berbasis internet merupakan sumber informasi utama masyarakat modern saat ini, tanpa kecuali di Indonesia. Berbagai fenomena ini akhirnya mendorong munculnya model baru ?online journalism?. Dulu saat ANTARA hanya berfungsi melayani pelanggannya yang pada umumnya media cetak, produk informasi itu cukup berupa teks dan foto saja. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, ANTARA dituntut pula melayani berita bagi pengguna internet, pendengar radio, pemirsa televisi hingga pengguna telepon seluler. Pakar komunikasi UI yang juga mantan Menteri Penerangan di era pemerintahan Soeharto, Prof Alwi Dahlan, menilai ANTARA bisa saja masuk menjadi media retail sebagai salah satu strategi kantor berita itu untuk tetap bertahan dalam persaingan ketat antarmedia. "Kantor berita itu seharusnya mempunyai trend baru jika mau tetap bertahan, sebagaimana Reuters yang saat ini memiliki berbagai pelayanan bagi konsumen-konsumen mereka," katanya. Dengan adanya perkembangan zaman, Reuters segera mengubah sifat kantor beritanya menjadi pelayanan berita ekonomi dan terjun ke dunia bisnis data menyusul perkembangan pesat ekonomi finansial global. Saat ini, menurut Alwi Dahlan, informasi Reuters itu tidak hanya terbuka bagi koran-koran diseluruh dunia yang menjadi pelanggannya, tetapi juga terbuka untuk siapa pun yang hendak mengakses berbagai berita mereka. "Jadi mereka (Reuters) berubah karena pembacanya juga berubah. ANTARA juga seharusnya demikian, turut berubah mengikuti karakter pelanggannya atau masyarakat luas pada umumnya," ujar Alwi. Lebih lanjut pengajar pasca sarjana UI itu menjelaskan bahwa khalayak global saat ini telah berubah kearah digital dan multi media. "Ada perubahan mendasar yang sedang terjadi yakni perpindahan dari media konvensional ke online. Media online ini lebih real time, interaktif dan pembaca juga bisa ikut mengisinya," katanya. Dalam konteks perubahan seperti itulah maka lembaga ini perlu menjawab tantangan zaman dengan memasuki media retail, semisal online, yang berbagai produk informasinya dapat langsung diakses masyarakat sebagai "end user?. Tidak hanya itu, Alwi juga mengingatkan agar ANTARA harus pula mencari trend pangsa pasar baru karena media retail itu sendiri banyak sekali ragamnya, apalagi saat ini juga telah berkembang "citizen journalism". Media retail itu tidak hanya teks tetapi juga informasi grafis dan audio visual sehingga ANTARA harus berfikir keras bagaimana menjawab trend perubahan tanpa meninggalkan peran utamanya sebagai penyedia informasi untuk media-media massa dan publik di tanah air. Penempatan posisi yang tepat seraya diferensiasi yang jelas menjadi kata kunci bagi arah perkembangan Kantor Berita ANTARA guna menjawab kebutuhan pemenuhan informasi publik sekaligus survive di arena persaingan antarmedia saat ini.(*)

Oleh Oleh Junaedi S
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008