Kalau nanti dibuat per jam untuk mereka yang kerja di bawah 35 jam kerja per pekan artinya harus ada hitungan jangan sampai merugikan pekerja
Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nawawi mengatakan perlu ada perhitungan komprehensif terkait wacana perubahan sistem upah kerja menjadi per jam agar tidak merugikan pekerja.

"Kalau nanti dibuat per jam untuk mereka yang kerja di bawah 35 jam kerja per pekan artinya harus ada hitungan jangan sampai merugikan pekerja," kata Nawawi saat dihubungi ANTARA, di Jakarta, Sabtu.

Ia mengatakan bahwa skema upah kerja per jam kemungkinan hanya akan menyasar pekerja "setengah menganggur" bukan pekerja penuh waktu.

"Detilnya belum kelihatan tapi prinsipnya dari Menteri Ketenagakerjaan yang baru bilang bahwa upah kerja per jam menyasar mereka yang bekerja di bawah 35 jam per pekan, jadi artinya memang orang-orang yang statusnya masih 'setengah menganggur' jadi memang ini khusus bagi mereka yang bukan 'full time workers'," ujarnya.

Jika skema upah kerja per jam diberlakukan bagi pekerja penuh yang bekerja 40 jam per pekan atau pekerja penuh waktu, kata dia, maka akan merugikan mereka, karena upah yang diterima sangat rigid (kaku) sekali berdasarkan jumlah jam kerja.

Tapi di sisi lain, kata Nawawi, skema upah kerja per jam akan menguntungkan pengusaha karena ada kepastian besaran bayaran untuk pekerja "paruh waktu" tersebut.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia tengah mengkaji sistem pengupahan yang berbasis produktivitas, salah satunya mengubah sistem upah menjadi per jam.

Dalam rancangan Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja sedang dipersiapkan skema khusus yang memungkinkan ada upah lanjutan bagi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto setelah rapat terbatas tentang perkembangan penyusunan Omnibus Law yang dipimpin Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (27/12) mengatakan dalam pembahasan mengenai cipta lapangan pekerjaan, sedang dipersiapkan skema baru untuk di bidang ketenagakerjaan terkait dengan “unemployment benefit”.

Sementara Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengkhawatirkan dampak Omnibus Law kluster ketenagakerjaan yang berkenaan dengan upah, pesangon, tenaga kerja asing, dan jaminan sosial terhadap nasib para buruh.

Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, prinsip upah minimum adalah jaringan pengamanan agar buruh tidak miskin sebagaimana yang terkandung dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan UU No. 13 tahun 2003.

Penerapan sistem upah per jam, menurut Said Iqbal, bisa membuat buruh menerima upah bulanan di bawah nilai upah minimum.

Baca juga: Presiden Jokowi ingin draf Omnibus Law dibuka ke publik

Baca juga: Omnibus Law mungkinkan ada upah lanjutan bagi korban PHK

Baca juga: KSPI khawatirkan dampak "omnibus law" terhadap buruh


 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019