Metode "cuci otak" tersebut belum menjadi tanggungan dari BPJS
Denpasar (ANTARA) - Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar telah menerapkan metode "cuci otak" dengan Digital Substraction Angiography (DSA) sebagai metode pengobatan stroke sejak tahun 2010.

"Sejak 2010 sudah mulai ada bersama dengan alatnya kemudian sempat mengalami error mungkin pada teknik pemasangan sehingga kelembabannya tinggi dan membuat sumber eksternalnya mudah rusak jadi sekarang sedang diperbaiki untuk bisa cepat operasional, dan tadi Menteri Terawan juga langsung menelepon distributornya agar cepat beroperasi," kata Kepala Instalasi Radiologi RSUP Sanglah Denpasar, dr. Firman Sitanggang, Sp.Rad, di Denpasar, Sabtu.

Ia mengatakan ditargetkan pada Januari 2020 DSA kembali beroperasi di RSUP Sanglah Denpasar. Bersamaan dengan jumlah pasien setiap minggunya sekitar 3-4 pasien baik berasal dari Bali sendiri, Timor Leste dan NTB.

Baca juga: UGM siap fasilitasi pengujian metode "cuci otak" dr Terawan

Ia menambahkan bahwa untuk alat sendiri ada tiga, satu diantaranya dalam masa perbaikan. Apabila jumlah pasien bertambah maka akan mengikuti dengan penambahan jumlah alat dalam penanganan pasien stroke tersebut.

"Alatnya ada tiga, di sini dan ada di Unit Bagian Jantung itu ada dua bisa pakai sementara, jadi saat ada pasien kita pinjam di Unit Bagian Jantung biasanya setelah dari sana baru bisa kita gunakan, di atas jam 16.00 sore,"katanya.

Alat yang digunakan dalam metode "cuci otak" tidak hanya ada di Bali, melainkan ada di setiap Ibukota/Provinsi, baik itu di Semarang, Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan provinsi lainnya.

"Kebetulan saya itu Ketua Perkumpulan Dokter Spesialis Radiologi (PSRI) dan untuk di Indonesia sendiri tersebar 120 dokter yang ahli dalam penanganan ini dan distribusinya juga merata di Indonesia," katanya.

Ia menambahkan untuk tingkat kesulitan dilihat saat penanganan terhadap pasien yang lanjut usia. Menurutnya, pasien dengan usia lanjut sulit untuk diajak kooperatif.

Saat penanganan juga diberikan heparin yang merupakan obat antikoagulan (pengencer darah) untuk mencegah pembentukan gumpalan darah.

Ia mengatakan umumnya tindakan ini tidak pakai anastesi sehingga dokter dapat berbicara dengan pasiennya dan bisa mengetahui pasien dalam kondisi baik atau tidak, misalnya dia baik bisa berbicara lantang tiba-tiba serak ada yang harus diperiksa kembali karena kontras dan bisa segera memberi antidotnya sehingga bisa terbebas.

"Metode "cuci otak" tersebut belum menjadi tanggungan dari BPJS karena memang itu masuk dalam pemeriksaan yang eksklusif itu sehingga tidak dibebankan ke BPJS. Namun, apabila penanganan dalam bentuk Kemoterapi itu ditanggung oleh BPJS," katanya.

"Jadi itu adalah  Service Excellent  dan sumber keuangan untuk rumah sakit karena itu orang yang unggulan itu seperti DSA tidak ditanggung oleh BPJS. Untuk biaya nya sekali penanganan rata-rata Rp15-17 juta," tambahnya.

Baca juga: Menkes : Metode "cuci otak" bisa diterapkan rumah sakit di Bali
 

Pewarta: Ayu Khania Pranishita
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019