Sleman (ANTARA) - Anggota DPR RI Ahmad Baidowi menilai saat ini perlu dipikirkan untuk desain baru pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk menekan tingginya biaya pilkada yang dapat berujung pada banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.

"Tidak dipungkiri cukup banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, termasuk terkena operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK," kata Ahmad Baidowi pada bedah buku karyanya berjudul "Pilkada Serentak, Catatan dari Senayan", di Yogyakarta, Minggu.

Baca juga: Kemendagri: parpol semestinya tawarkan kandidat pilkada berkualitas

Ia mengatakan, menurut KPK justru saat menjelang pilkada itulah banyak praktik korupsi dilakukan kepala daerah.

"Menurut KPK sebagaimana jenis modus korupsi menjelang pilkada banyak berkaitan dengan perizinan ataumpenerimaan 'fee' proyek. Uang dari hasil korupsi itu diduga akan digunakan untuk membiayai pencalonan, baik itu membiayai tim sukses maupun kampanye yang jumlahnya tidak sedikit," katanya.

Baca juga: Bawaslu: SIPS siap dioperasikan pada Pilkada 2020

Menurut dia, potensi korupsi menjelang pilkada ini juga diperkuat oleh kajian Indonesia Corruption Watch (ICW). LSM antikorupsi ini menyebut selama tahun 2017 ada 30 orang kepala daerah terjerat kasus korupsi, yang terdiri dari satu gubernur, 24 bupati/wakil bupati, dan lima wali kota/wakil wali kota.

"Secara umum modus korupsi yang melilit kepada daerah itu umumnya adalah berupa penyuapan dari anak buahnya dan adanya uang komitmen suap dari proyek yang sedang digarap di daerah tersebut atau juga suap dari penerbitan izin," katanya.

Baca juga: Putusan MK tegaskan peluang mantan koruptor berlaga di pilkada

Sementara itu, berdasarkan kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) selain sejumlah modus di atas, praktik korupsi Iain yang dilakukan kepala daerah adalah penyalahgunaan APBD, perizinan, infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, promosi dan mutasi pejabat daerah, dan pengelolaan aset daerah.

"Modus penyuapan tetap menjadi yang paling atas dilakukan kepala daerah," katanya.

Baca juga: Kemendagri ingatkan potensi polarisasi masyarakat pada Pilkada

Baidowi mengatakan, sejumlah kewenangan kepala daerah yang sangat besar dan berhubungan dengan perputaran uang, khususnya di sejumlah proyek yang ditangani pemerintah daerah membuat mereka tergoda untuk melakukan korupsi dengan modus yang tentunya berbeda-beda.

"Belum lagi suap dari anak buah mereka (para kepala dinas) yang ingin mendapatkan atau mempertahankan jabatan tertentu yang tentunya juga berhubungan dengan sejumlah proyek yang ditangani kepada dinas," katanya.

Ia mengatakan, biaya pesta demokrasi yang sangat mahal bukanlah sebuah isapan jempol. Pesta demokrasi, baik Pemilu Legistatif (Pileg), Pemilu Presiden (Pilpres), dan pilkada memang sangat mahal.

Setiap calon atau pasangan calon yang maju dalam pilkada bisa mengeluarkan puluhan bahkan ratusan miliar untuk mengikuti kontestasi politik lima tahunan yang terjadi di setiap daerah tersebut.

"Besaran dana yang dikeluarkan bergantung luasan wilayah dan jumlah penduduk yang ada dalam satu daerah. Semakin luas dan padat sebuah wilayah, maka biaya yang dikeluarkan pun akan lebih besar," katanya.

Banyak kalangan yang menilai bahwa besarnya biaya yang dikeluarkan dalam pilkada ini disebabkan masih maraknya praktik politik uang yang dilakukan para kontestan.

"Anggapan itu memang ada benarnya, namun tanpa adanya politik uang pun biaya untuk mencalonkan diri dalam pilkada juga tidak sedikit, bahkan juga bisa mencapai puluhan bahkan ratusan miliar," katanya.

Biaya-biaya yang besar itu diperlukan untuk operasional pencalonan, mulai dari pembentukan struktur tim sukses dan relawan, pembuatan posko kemenangan, operasional, kampanye di beberapa titik yang dilakukan setiap hari, serta biaya saksi.

"Untuk membiayai ongkos politik yang tak sedikit ini, tidak jarang pasangan calon yang bertarung mencari sumber dana ke pengusaha atau pihak swasta lainnya. Hal ini rawan menimbulkan balas budi saat mereka menjabat," katanya.

Masalah besaran biaya kampanye ini tentu menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan bersama oleh semua pemangku kepentingan di Indonesia.

"Tidak hanya bisa diselesaikan oleh pasangan calon atau partai politik, namun juga oleh penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu," katanya.

Ia mengatakan, sistem yang membuat pilkada ini menjadi mahal juga perlu menjadi bahan serius untuk diskusikan bersama agar bisa diselesaikan.

"Sebab masalah biaya kampanye yang super mahal ini berkorelasi kuat maraknya praktik korupsi yang selama ini menjerat ratusan kepala daerah di seluruh Indonesia," katanya.

Selain itu, kata dia, dalam setiap pilkada sering terdengar istilah mahar politik. Mahar politik yang sering dibicarakan oleh banyak orang tersebut adalah dana yang diberikan oleh pasangan calon kepada partai politik agar mereka diusung dalam pilkada di suatu daerah.

"Mahar politik selalu mempunyai konotasi negatif yaitu sebagai upaya pasangan calon untuk menyuap partai agar mengusungnya di Pilkada," katanya.

Namun, menurut dia, tidak semua dana yang diberikan pasangan calon kepada partai politik bisa disebutkan dengan mahar. Pemberian dana dari pasangan calon kepada partai politik tidak bisa disamaratakan.

Pemberian dana dari pasangan calon juga bisa menunjukkan bahwa pasangan calon tersebut memang siap untuk membiayai berbagai biaya politik yang memang tidak sedikit.

"Sebut saja biaya saksi yang bisa mencapai puluhan miliar yang tentu tidak mudah ditanggung oleh partai pengusung sendirian, walaupun partai mempunyai banyak kader di daerah yang bersangkutan," katanya.

Ia mengatakan, sebagaimana diketahui bersama bahwa tujuan pilkada adalah mencari pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat serta bisa memajukan daerahnya melalui gebijakan pembangunan. Artinya tujuan dari pilkada adalah kesejahteraan rakyat bukan kesejahteraan pemimpin.

"Namun, ketika ternyata para kepala daerah justru berurusan dengan hukum akibat korupsi maka tujuan dari pilkada tidak tercapai," katanya.

Menurut dia, jika hanya satu atau dua orang kepala daerah yang tersandung kasus boleh disebut sebagai oknum. Namun ketika lebih dari separuh kepala daerah tersandung hukum, maka patut diduga penyebabnya karena sistem. Untuk itulah perlu perbaikan sistem agar kasus yang melibatkan kepala daerah tidak semakin menjamur dan merajalela.

"Salah satu perbaikan sistem adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah pada jalur konstitusi. Dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 disebutkan gubernur. bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis," katanya.

Dari ketentuan tersebut, kata dia, yang menjadi penekanan adalah pelaksanaan dilakukan secara demokratis, maka pemilihan kepala daerah sebenarnya tidak perlu dilakukan secara Iangsung tetapi bisa melalui DPRD asalkan memenuhi prinsip demokratis.

"Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Mukernas di Medan tahun 2007 merekomendasikan agar pelaksanaan pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD. Hal ini didasari fakta di lapangan bahwa pelaksanaan pilkada langsung lebih banyak mudharatnya, yakni terjadinya konflik horisontal, politik uang, biaya politik mahal hingga banyaknya kepala daerah tersandung kasus hukum," katanya.

Ia mengatakan, pemilihan kepala daerah melalui DPRD sejalan dengan Sila ke-4 Pancasila. Dari bunyi dasar negara tersebut, bahwa permusyawaratan perwakilan menjadi acuan utama. Mencapai musyawarah merupakan nilai luhur yang diajarkan nenek moyang Indonesia sejak zaman dahulu.

Adapun perwakilan dimaknai sebagai perwakilan rakyat di parlemen yang dipilih melalui pemilu, maka para anggota parlemen tersebut merupakan representasi rakyat, dalam artian rakyat mewakilkan mandatnya kepada anggota DPRD/DPR terpilih dalam hal pengambilan kebijakan politik.

"Sementara pelaksanaan pemilihan langsung merupakan pengaruh demokrasi barat yang dalam pelaksanaannya belum tentu sesuai dengan kultur sosio-politik Indonesia," katanya.

Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019