Cukup banyak kejadian dan peristiwa yang terjadi sepanjang 2019, tetapi tentu yang pertama dan utama diingat oleh masyarakat adalah kemenangan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin.
Dilantik MPR pada Minggu (20/10), pasangan Jokowi-Ma'ruf membuat langkah politik yang membuat para pengamat politik dan masyarakat bertanya-tanya. Hal itu karena Jokowi menunjuk Prabowo Subianto, rivalnya dalam Pemilihan Presiden 2019 dan 2014, menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju yang dibentuknya.
Namun, tidak hanya Prabowo saja menteri yang menjadi perhatian masyarakat. Mata publik juga mengarah pada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Tohir dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.
Erick menjadi perhatian publik karena gebrakannya mengganti seluruh pejabat eselon I di Kementerian yang dia pimpin dan "bersih-bersih" BUMN yang dia lakukan.
Belum satu bulan menjabat, Erick langsung mengganti seluruh pejabat eselon I di Kementerian BUMN. Mereka "dilempar" Erick untuk menjabat sebagai direksi di berbagai perusahaan milik negara.
Sementara itu, belum tiga bulan menjabat, Erick sudah mengganti jajaran direksi di 11 BUMN, mulai dari Pertamina, BTN, MIND ID, Bank Mandiri, Antam, PLN, Garuda Indonesia, KAI, Pelni, ASDP, dan PGN.
Dari semua BUMN yang dirombak jajaran direksinya, tentu perhatian paling utama masyarakat arahkan kepada Garuda Indonesia setelah kasus upaya penyelundupan sepeda motor mewah dan sepeda mewah.
Sebelum melakukan perombakan di jajaran direksi BUMN, Erick memang sudah mengisyaratkan akan melakukan "bersih-bersih" di perusahaan plat merah.
"Perlulah figur-figur yang bagus untuk membantu di masing-masing unit BUMN. Tidak mungkin menteri dan wamen mengawasi kegiatan masing-masing BUMN setiap hari. Makanya kita perlu banyak figur yang bagus," kata Erick, Kamis (14/11).
Sementara itu, Nadiem Makarim yang dikenal masyarakat sebagai pendiri GoJek juga menjadi perhatian karena selain usianya yang relatif muda juga tidak memiliki latar belakang di dunia pendidikan.
Tentu publik bertanya-tanya apa alasan Jokowi memilihnya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Salah satu berita di bidang pendidikan yang menjadi perhatian masyarakat adalah wacana penghapusan ujian nasional.
Wacana tersebut disambut pro dan kontra di masyarakat. Ada yang setuju, karena ujian nasional yang dilaksanakan selama ini lebih banyak membuat siswa tertekan, tetapi ada juga yang menentang karena ujian nasional merupakan tolok ukur keberhasilan pembelajaran siswa.
Namun, wacana penghapusan ujian nasional tersebut ternyata dibantah oleh Nadiem. Dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR, Nadiem mengatakan kata "penghapusan" lebih sekadar pilihan media untuk menarik perhatian publik.
"Mohon maaf, kata dihapus itu hanya headline di media agar diklik, karena itu yang paling laku. Jadinya, UN itu diganti jadi asesmen kompetensi," kata Nadiem di hadapan Komisi X DPR, Kamis (12/12).
Sementara itu, di bidang hukum, perhatian masyarakat mengarah pada penangkapan pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, setelah kasus tersebut bagaikan "jalan di tempat" selama 1,5 tahun.
Tim Teknis Badan Reserse Kriminal Polri menangkap dua pelaku penyiraman air keras kepada Novel di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Kamis (26/12) malam.
Dua pelaku berinisial RB dan RM merupakan anggota Polri dan sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, pengungkapan pelaku penyiraman air keras terhadap Novel tersebut mengundang komentar beragam dari masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang menganggap ada kejanggalan dalam pengungkapan tersebut.
Menanggapi pertentangan yang muncul di masyarakat, Presiden Jokowi akhirnya angkat bicara. Jokowi meminta semua pihak untuk memberikan kesempatan kepada polisi untuk membuktikan perbuatan para pelaku.
"Jangan sebelum ketemu ribut, setelah ketemu ribut. Berikanlah polisi kesempatan untuk membuktikan bahwa itu benar-benar pelaku. Sekarang pelakunya sudah tertangkap, ya kita sangat menghargai," kata Jokowi, Senin (30/12).
Di bidang kesehatan, perhatian publik juga mengarah pada rencana pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Komisi IX DPR meminta pemerintah tidak menaikkan iuran untuk peserta kelas III kategori pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja.
"Setelah mendengar aspirasi masyarakat, Komisi IX DPR tetap konsisten dengan hasil kesimpulan rapat kerja gabungan pada tanggal 2 September 2019," kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Ansory Siregar saat membacakan kesimpulan rapat kerja bersama Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, Jumat (8/11).
Rapat gabungan yang dimaksud diikuti oleh Komisi IX dan Komisi XI periode 2014-2019 dengan perwakilan pemerintah Kabinet Kerja, yaitu Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional. Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Direktur Utama BPJS Kesehatan.
Komisi IX juga mendesak Kementerian Kesehatan untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka mencari pembiayaan terhadap seluruh kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi peserta kategori pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja.
"Pembiayaan selisih kenaikan iuran JKN bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja harus dicari selambat-lambatnya 31 Desember 2019," kata Ansory.
Sementara itu, dalam rapat kerja pada Kamis (12/12) akhirnya disepakati pemanfaatan surplus Dana Jaminan Sosial (DJS) untuk membayar selisih kenaikan iuran peserta pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja kelas III BPJS Kesehatan.
"Komisi IX DPR mendukung langkah Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional untuk memanfaatkan surplus DJS sebagai alternatif solusi," kata Ketua Komisi IX Felly Estelita Runtuwene saat membacakan kesimpulan rapat.
Surplus DJS akan dimanfaatkan untuk membayar selisih kenaikan iuran peserta pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja kelas III yang berjumlah 19.961.569 jiwa.
Dalam rapat tersebut, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menjamin kesepakatan itu dapat dilaksanakan per 1 Januari 2020 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Kami setuju dan kami akan mengomunikasikan dengan Menteri Keuangan. Hakekatnya kami bukan regulator, tetapi kami memberikan pilihan terbaik kepada Kementerian Keuangan. Dengan Menteri Keuangan sifatnya hanya laporan, jadi kami rasa tidak akan ada masalah," kata Fachmi. (T.D018)
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2020