Pekanbaru (ANTARA News) - LSM lingkungan, Greenpeace, menyatakan organisasi internasional produsen kelapa sawit Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) hanya sebagai tameng anggotanya yang tetap merusak lingkungan. Juru kampanye Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, dihubungi dari Pekanbaru Kamis mengatakan, berdasarkan penelitian Greenpeace, RSPO tidak lebih dari sekedar tameng agar perusahaan yang masuk dalam organisasi itu terkesan ramah lingkungan. Sertifikasi RSPO memang menuntut perusahaan mematuhi ketentuan standar mengenai perkebunan, namun tidak melarang pembukaan hutan bahkan di lahan gambut sekali pun. Padahal lahan gambut merupakan faktor penting dalam memerangi perubahan iklim. Pembukaan lahan, pengeringan, dan pembakaran hutan-hutan gambut telah menempatkan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga dunia. Sementara anggota-anggota RSPO tidak diwajibkan mengubah perilaku kerjanya. "Dengan laju pembabatan dan pembakaran hutan saat ini, hutan dataran rendah Indonesia sebagian besar akan hilang dalam waktu 15 tahun mendatang, standar RSPO tidak memadai, dan kerangka kerjanya tidak akan memecahkan masalah deforestasi di Asia Tenggara. Industri bersama pemerintah harus mengambil tindakan segera untuk melindungi hutan kita," ujar Bustar. Salah satu perusahaan bersertifikasi RSPO, United Plantations, yang juga pemasok Nestle dan Unilever, terlibat kegiatan deforestasi di lahan gambut Kalimantan yang rentan, Papua, dan mempunyai rencana-rencana perluasan perkebunan yang agresif. Greenpeace, kata Bustar, hingga kini masih melakukan penghadangan terhadap sebuah kapal tanker pengangkut CPO di pelabuhan Dumai. Seorang aktivis Greenpeace sejak Rabu malam (12/11) menguncikan dirinya ke rantai jangkar kapal Isola Corallo untuk mencegah kapal merapat ke pelabuhan. Kapal berbendera Malta itu dikabarkan akan mengangkut CPO milik perusahaan Sinar Mas tujuan Roterrdam, Belanda. (*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008