Jakarta (ANTARA) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak Pemerintah China menghentikan tindakan provokasi dengan melanggar kedaulatan wilayah perairan RI di perairan Natuna, Kepulauan Riau.

Ketua Umum PBNU Prof Dr. KH Said Aqil Siroj melalui pernyataan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin, menegaskan dukungan NU atas sikap tegas Pemerintah RI terhadap China.

Tindakan "Coast Guard China" mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna, kata dia, merupakan provokasi politik yang tidak bisa diterima.

Perairan Natuna merupakan kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS, United Nation Convention for the Law of the Sea1982).

Kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994.

PBNU mendukung sikap tegas Pemerintah RI terhadap China, dalam hal ini yang telah dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dan Bakamla, termasuk untuk mengusir dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di seluruh perairan RI.

Meskipun China merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, NU meminta Pemerintah RI tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi.

"Keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun," tegasnya.

Dalam jangka panjang, NU meminta Pemerintah RI untuk mengarusutamakan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik.

Kedudukan laut juga amat strategis sebagai basis pertahanan, lanjut dia, karena itu pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Selatan China, tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan.

Ketidaksungguhan dalam melaksanakan konsep pembangunan berparadigma maritim, termasuk geopolitik, ekonomi, dan pertahanan, akan membuat Indonesia kehilangan 75 persen potensinya untuk maju, sejahtera, dan memimpin dunia sebagai bangsa bahari, seperti amanat "founding fathers".

Dalam pandangan NU, sebagaimana dinyatakan oleh pendiri Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, hukum membela keutuhan Tanah Air adalah fardhuain (wajib bagi setiap orang Islam).

"Dan barang siapa mati demi Tanah Airnya, maka ia mati syahid," katanya.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Sisriadi menyebutkan TNI tidak akan terpancing terhadap upaya provokasi yang dilakukan nelayan China dan kapal Coast Guard China yang masuk ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, Natuna Utara, Kepulauan Riau.

"Kita (TNI) tidak ingin terprovokasi. Mereka melakukan provokasi supaya kita melanggar hukum laut internasional itu sendiri. Sehingga kalau itu terjadi, bisa kita yang disalahkan secara internasional dan kita yang rugi," kata Sisriadi saat memberikan keterangan pers di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Senin.

Saat ini, TNI juga masih akan berpegang teguh terhadap pedoman hukum laut internasional, yakni Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Masuknya kapal ikan China yang kemudian di-back up oleh China Coast Guard (CCG) di perairan Natuna merupakan salah satu bentuk upaya provokasi yang dilakukan untuk memancing reaksi dari TNI. Jika TNI sampai terpancing, maka justru bisa berakibat lebih merugikan.

"Kalau itu terjadi, bisa kita yang disalahkan secara internasional dan kita yang rugi. Oleh karenanya, para prajurit kita, mereka melakukan tugasnya dengan rules of engagement yang diadopsi dari hukum-hukum yang berlaku secara internasional," ujarnya.

Baca juga: Anggota DPD dukung Kementerian Luar Negeri terkait Natuna

Baca juga: China didesak klarifikasi dan minta maaf pada Indonesia

Baca juga: Pangkalan TNI AU Roesmin Nurjadin siaga antisipasi krisis Natuna

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020