Jakarta (ANTARA) - Jas hujan sebenarnya sudah lama hadir, setidaknya sejak Charles Macintosh mematenkan jas hujan berbahan karet "plastic mac" untuk kali pertama pada tahun 1823.
 
Seorang perempuan mengenakan jaket hujan berbahan garbadin (Shutterstock)


Namun, momen paling ikonik terjadi saat Thomas Burberry menemukan kain gabardin ( jenis kain polyester yang secara sepintas mirip dengan Twill yang nyaman dipakai dan mempunyai kerapatan yang lebih renggang daripada Twill) 56 tahun kemudian. Bahan ini lebih tahan terhadap cuaca dan sempat digunakan tentara selama Perang Dunia I.

Bahan plastik kemudian dikenal pada tahun 1950-an dan menjadi populer setelah Perang Dunia Kedua ketika produksi kain sintetis melonjak dengan harga yang relatif terjangkau, menurut laman who.com.au.

Salah satu bahan yang digunakan, Polyvinyl chloride (PVC) dengan satu warna dominan. Laman The Telegraph menyebut, pada tahun 1970 Putri Anne dari Inggris mengenakan ponco berbahan PVC dengan warna merah mawar dalam sebuah kunjungan.

Dulu, jas hujan dianggap tak bisa digunakan sebagai bagian dari fesyen karena sering kali terlihat seperti kantong sampah besar.
 
Ariana Grane dalam balutan jas hujan pada November 2015 (Gotceleb.com)

Para perancang lalu membuat siluet yang bagus, desain warna-warni dan busana yang nyaman. Jas hujan tembus pandang yang beberapa tahun lalu diperkenalkan membuktikan barang ini bisa dibuat untuk bergaya. Sejumlah selebritas semisal Ariana Grande pernah memakainya pada 2015, lalu Joan Smalls pada 2017 dan Christina Milian dua tahun kemudian.

Bagaimana di Indonesia?
 
Presiden Jokowi nampak menggunakan jas hujan plastik saat meninjau lokasi tersampak longsor di Desa Harkat Jaya, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (7/1/2020). (ANTARA/M Fikri Setiawan)


Perancang busana Lisa Fitria berpendapat, di Indonesia jas hujan belum menjadi bagian dari fesyen, karena masih sebatas pada kebutuhan menghindari terpapar air hujan. Apalagi, tingkat tutupan jas hujan lebih baik ketimbang payung.

"Hanya, jas hujan yang ada belum dipikirkan secara fesyennya. Tapi sekarang beberapa label sudah mengeluarkan produk yang mengarah ke sana, bukan jas hujan tetapi anti air, misalnya jaket tipis. Fungsinya bisa sama seperti jas hujan," kata dia saat dihubungi ANTARA, Rabu.

Di luar produk yang dikeluarkan sejumlah merek, jas hujan plastik lebih dikenal, biasanya menggunakan bahan PVC dan HDPE dengan ragam model namun kebanyakan raincoat hanya atasan selutut. Warna yang dipilih umumnya warna terang karena lebih banyak digunakan siang hari ketimbang malam hari.

Jas hujan mirip kantong plastik sekali pakai juga belakangan hadir dan cukup digemari kalangan muda karena praktis. Jas ini kerap digunakan para pengendara motor dan penumpangnya berukuran sekitar 90 sentimeter atau selutut orang dewasa.

Bak jas hujan pada umumnya, ada penutup bagian kepala dengan fungsi ganda yakni menghindari kepala terkena air hujan dan pelindung dari helm motor yang basah. Beberapa jas juga dilengkapi tali pengencang di bagian kepala, menambah kesan sedikit gaya.

Selain plastik, bahan parasut juga digunakan dan cenderung lebih trendi terutama saat berkendara menggunakan motor dan berjalan kaki.

Lisa menilai, para perancang di tanah air punya kesempatan menciptakan jas hujan yang fungsional sekaligus membuat pemakainya bisa trendi, seiring boomingnya dunia fesyen saat ini.

"Kesempatan di dunia fesyen, menciptakan jas hujan yang sesuai fungsinya tetapi tetap bisa fashionable. Bisa dibuat jas hujan dengan model jumpsuit, yang sampai ke kaki. Bisa didesain keren, hingga ke sepatu jadi enggak kena air. Ada hoodie-nya, bisa dilepas," tutur dia.

Soal bahan, dia menyarankan nilon ketimbang plastik, karena lebih mudah kering, bisa digunakan berkali-kali dan tentu saja ramah lingkungan.

"Paling enak nilon karena lebih cepat kering," kata Lisa.


Baca juga: Jas hujan plastik Rp10 ribu Jokowi nan praktis

Baca juga: Tips mencuci jas hujan tanpa merusak daya anti-air

Baca juga: Jas hujan warna cerah jadi pilihan pengendara motor

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020